Norwegian Wood : Kehampaan dan Suka Cita



Seminggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 15 Desember aku menyelesaikan novel Haruki Murakami, Norwegian Wood judulnya. Itu adalah noverl Murakami pertama yang aku baca. Novel setebal 426 Halaman ini aku lahap kira-kira hanya dua hari saja, ya begitu cepat bila dibanding aku membaca buku-buku teori yang membuat kepalaku berdenyut. Dua hari itu aku seperti merasa terbawa pada dunia Toru Watanabe, tokoh utama dalam novel tersebut, mengalir begitu saja, menyelami hidupnya yang berliku dan bisa dibilang rumit untuk anak yang berusia 20-an. Alur cerita yang dibuat Murakami bagiku begitu realistis, absurd dan membuat si pembaca menjadi bagian dari novel tersebut; hidup sekali penggambarannya. Norwegian Wood bukan hanya sekedar novel cerita cinta, namun begitu banyak refleksi kehidupan yang diberikan.
    Membaca lembar demi lembar Norwegian Wood aku secara nisbi mengingat tiga hal yakni bunuh diri, aktivis gadungan dan dia. Banyak orang mengira bunuh diri menjadi suatu yang menjijikan, payah dan tolol. Banyak orang mengira bunuh diri adalah selemah-lemahnya iman, dan seketika cacian dan hujatan lantas disematkan pada korban bunuh diri. Seperti pada kasus bunuh diri idol K-POP, Junghyun, tidak sedikit warganet yang mensumpah serapah, men-tololkan dan mendadak menjadi tokoh agama dengan mengutip ayat-ayat agamanya yang melarang untuk bunuh diri. Dangkal sekali rasio dan empati warganet tersebut, pikirku.
Dalam novel Norwegian Wood, ada tokoh yang bernama Naoko, Naoko adalah gadis yang dicintai Watanabe (tokoh utama), dalam hidupnya Naoko telah kehilangan orang-orang yang begitu dicintainya yakni Kisuki (pacar pertama) dan sang kakak, keduanya mati dengan bunuh diri. Naoko begitu terpukul atas kematian mereka; hampa, gelisah dan sedih itu yang dirasakan Naoko namun, selalu ditutupinya dengan senyum manis tersunging dari bibirnya. Hingga dia merasakan ada “keanehan” pada dirinya, membuatnya pergi ke tempat tetirah untuk kesembuhannya. 
Keanehan itu merupakan  bentuk dari kehampaan, kenelangsaan dan kehilangan yang bertumpuk pada diri Naoko yang pada akhirnya membuat dia pun bunuh diri. Aku sedikit bisa merasakan apa yang dirasakan Naoko, hingga aku berpikir bahwa bunuh diri bukan kapayahan atau kurang mendekatnya pada Tuhan. Orang yang melakukan bunuh diri memang sangat sulit untuk menggambarkan perasaannya, sehingg menumpuk pada hatinya. Jatuh ke dalam jurang kematian yang dalam, tanpa seorang pun yang bisa menolong; kemungkinannya sangat kecil. Begitu kira-kira yang aku pahami tentang bunuh diri dalam novel tersebut.
Bahkan habisnya karakter angka Ms.word ini tak sanggup bagaimana seseorang bisa terjerembab pada lumpur pekat kesedihan. Bunuh diri tidak hanya masalah dekat atau tidaknya kita dengan Tuhan, namun lebih dari itu, mampukah kita berdiri dari lumpur dan terlepas dari jurang kehampaan yang menyiksa batin. Belum tentu, manusia yang ” rusak” mudah untuk diperbaiki. 
Aktivis gadungan, barangkali itu adalah hal yang coba diceritakan Murakami lewat kekritisan pemikiran dari karaketer Kobyashi Midori. Midori adalah teman Watanabe yang begitu blak-blakan, energik, kritis, gigih dan tidak bisa ditebak. Midori adalah karakter novel yang aku suka. Aktivis gadungan terlintas saja di kepalaku saat Midori bercakap dengan Watanabe perihal aksi yang ada di Universitas dan Klub Rakyat yang diikuti Midori. Sebuah realita bahwa taji seorang mahasiswa atau seorang yang idealis bisa lenyap dengan sogokan beberapa lembar ratusan atau kursi kekuasaan yang didapat setelah menjilat sesorang dan tentunya menjilat ludah sendiri.
“…mereka semua penipu. Mereka seenaknya menggumbar istilah-istilah yang sulit, lalu merasa diri gagah, dengan cara seperti itu membuat mereka terkagum-kagum. Tapi, sebenarnya mereka hanya memikirkan bagaiman caranya menggerayangi tubuh perembuah itu saja. begitu naik ke tingkat emapy, mereka memendakan rambut. Kemudia masuk kerja di perusahaan Mistusbishi di TBS, IBM atau Bank Fuji…” (Norwegian Wood, hlm 264)
Di atas merupakan percakapan Midori dengan Watanabe tentang mahasiswa di Universitasnya yang bisa dibilang sok idealis. Mereka menggunakan slogan atau istilah untuk revolusi tapi, tidak dimengerti oleh rakyat. Mereka, mahasiswa, selalu berteriak revolusi, ganyang kapitalisme dan anti penindasan tapi setelah lulus universitas bisa bekerja apa saja, menjadi LSM proyekan, menjadi buruh perusahaan yang tunduk patuh, yaa bisa dibilang sudah kabur garis revolusinya. Teriakan ketika awal menjadi mahasiswa tergantikan dengan kekalutan dalam mencari pekerjaan. 
    Penting iso mangan, kira-kira seperti itu. Idealisme sudah menjadi sampah, basi dan tak berguna. Tesis Karl Marx tentang Fetitisme Komoditas pun terbukti jua, bahwa manusia telah didominasi oleh komoditas yang diciptakanya. Komoditas bukan hanya berupa benda namun, tenaga kerja juga termasuk komoditas. Kapital yang berasal dari sirkulasi uang (Money-Comoditas-Money); gerak dari uang menjadi komoditis menjadi uang dan menjadi berhala yang disembah semua orang. Mereka, para pekerja, tidak sadar bahwa dirinya telah dijadikan kapitalis yang memiliki alat produki (Ritzer, Douglas, hlm : 46-49). Uang dianggap sebagai tuhan yang menentukan segalanya (Indoprogress, Menggali Marx).
         Selanjutnya, ada beberapa bagian sosok Toru Watanabe yang begitu mirip dengan DIA. Ya, Dia. Dia adalah sosok yang memperkenalkanku pada Murakami, aku selalu mengangguminya. Ini adalah bagian paling menyesakan, karena tiap aku mengingat Watanabe; lakunya, cara bicaranya, cara berpikirnya hampir mirip dengan Dia. Aku tidak sanggup untuk menulis sebuah kalimat cinta atau bentuk kekaguman, sebab bagimana bisa karakter kata di sebuah benda ciptaan manusia bisa menuliskan tentang dirinya yang begitu kompleks. Dia itu seperti air, sulit sekali digengam. Ah, bukan, jangan-jangan diriku saja yang rendah diri bila berhadap dengannya. Aku menulis ini bukan untuk meratapi kesendirianku, yang sulit mengejarnya, akan tetapi aku takut suatu saat kehilangan memori tentangnya. 
            Sejauh ini, Norwegian Wood  berguna dan cukup menyenangkan untuk dibaca. Sebuah karya yang menggambarkan kesendirian, kehampaan yang begitu apik. Sekaligus suka cita jika bersama dengan orang yang kita cinta. Sebuah tulisan yang menohok bagi kaum-kaum "idealis", yang kemudian terhempas oleh modernitas dan gemerlapnya kekuasaan.  Sebagai penyemangat, ya bisa dibilang begitu, ada sepenggal kalimat dalam novel tersebut, kira-kira begini bunyinya "hidup itu  itu seperti kaleng biskuit, ada yang kita suka, ada pula yang tidak. dan kalau kamu memakan yang enak terus, yang tersisa hanya kesedihan. jika kita makan yang tidak enak, pasti nanti akan datang yang enak"

Refrensi
http://indoprogress.blogspot.co.id/2008/01/sekilas-tentang-analisis-kelas-dan_09.html
Ritzer dan Douglas, Marxis dan Neo-Marxis, Yogyakarta : Kreasi Wacana


Malang,  Desember 2017
Yang hampa dalam kehidupan
Yang sedih dalam pilihan
Sesal, hampir saja aku terjerembab dalam lumpur pekat masa lalu 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Emak: Catatan Rindu

Takut

Ara, aku bertanya.