Pengalaman Mengikuti Training Writing for Women Writer
Saya berkesempatan untuk mengikuti
kegiatan Asian Muslim Network Indonesia yang bertajuk Training Writing for Women Writer. Acara berlangsung selama dua
hari yakni pada tanggal 7-8 Oktober di Tlekung, dengan diisi berbagai materi seperti materi mubadalah, menulis, platform
media dan lain sebagainya. Hal yang menarik dari acara ini selain saya ketemu
dengan penulis kocak kesukaan saya, Kalis Mardiasah, saya juga bertemu dengan
Pak Faqih. Yang mana beliau memberikan pandangan baru ihwal relasi perempuan
dan laki-laki.
Seringkali kita pahami bahwa terori
feminisme yang dicetuskan oleh para permikir barat merepresntasikan dan
mewakili relasi perempuan dan laki-laki. Di mana membahas suatu entitas yang terdominasi dan yang mendominas. Terdominasi dan tertindas
dan tidak terpenuhi haknya dan atau tidak setaranya ia dengan yang lain, tentu
saja 'ia' yang dimaksud adalah perempuan. Teor-teori feminisme barat seringkali
mengkritik/terlalu menentang laki-laki dan ingin membuat dirinya harus setara’
dengan laki-laki dalam berbagai hal. Hingga ada teori feminisme yang disebut
feminisme radikal, menyebut bahwa kelompoknya tidak butuh laki-laki. Meskipun tidak bisa kita nafikan masih ada banyak teori feminisme lain yang tidak seekstrim itu. Namun semuanya bicara tentang kritik
dan kadangkala memberikan solusi yang imaji. Atau bahkan menimbulkan masalah lain bagi perempuan, misalnya beban ganda perempuan dalam ruang domestik dan ruang publik. Itu bagiku, entah bagimu seperti
apa.
Untuk itu, mubadalah hadir untuk
memberikan sikap yang moderat diantara teori-teori feminisme yang menanggap
laki-laki sebagai salah satu akar ke-dominas-an. Di sini saya tidak akan
membahas akar, atau ayat atau bagaimana cara penafsiran suatu ayat dengan
menggunakan mubadalah. Saya hanya menampilkan apa yang dimaksud relasi dalam
bingkai Islam terutama merujuk pada hadist dan al-quran. Itu pun saya dapatakan
hanya sebutir debu heheheh
Jadi begini, mubadalah itu artinya
relasi, atau kemitraan atau kerjasama yang berkaitan dengan prinsipi laki-laki
dan perempuan. Intinya, relasi perempuan dan laki-laki itu bukan terkalahkn
atau mengalahkan, namun sebuah bentuk kerjasama. Mubadalah lebih mengedepankan
solusi atau tawaran ketimbang kritik. Barangkali mubadalah ini bisa kita
cocoklogikan (hahahha) dengan pernyatan Bung Karno ihwal relasi perempuan dan
laki-laki dalam buku Sarinah. Yang mana di dalamnya, ia menyatakan bahwa
pergerakan sosialisme Indonesia akan tercapai jika perempuan dan laki-laki bersama-sama
untuk mendatangkan masyarakat yang sosialis. Contoh mubadalah begini,
seringkali kita atau akhi-akhi dan ukhti-ukhti pendamba rumah di surga
mengamini surat An-Nisa 34 yang kurang lebih menyatakan bahwa laki-laki adalah
pemimpin perempuan. Namun dalam mubadalah ditafsirkan bukan plek ngeplek artinya perempuan harus taat patuh tunduk pada
sang suami. Tetapi melihat apakah dengan kita menasirkan ayat sedemikian rupa
telah tercapai keadilan bersama bagi kedua belah pihak? Tentu tidak. Sehingga mubadalah
mempertimbangkan sisi yang lain, yang mana laki-laki karena sudah menjadi
pemimpin perempua. Maka dari itu ia harus bertanggung jawab, memberikan hak dan
kewaijiban pada sang Istri. Pun sebalikanya. Dengan demikian, pemimpin tidak
berarti seorang yang penuh perintah pada yang lain. Kan itu sebuah relasi
lebih-lebih jika relasi suami istri.
Jadi mubadallah, itu untuk mencapai
keadilan bersama. Keadilan itu macam mau minum, semua orang, baik laki-laki dan
perempuan. namun minum yang dibutuhkn tentu tidak sama, misal laki-laki butuh
minum kopi, sedangkan perempuan butuh minum the. Hahaha yang penting-penting
hak untuk minum telah terpenuhi. Mubadallah, tercapai keadilan untuk semua
(entah perempuan, laki, ibu dan anak, majikan dan buruh dan lain-lain) dengan
menggunakan bermacam perspektif.
Komentar
Posting Komentar