Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Norwegian Wood : Kehampaan dan Suka Cita

Seminggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 15 Desember aku menyelesaikan novel Haruki Murakami, Norwegian Wood judulnya. Itu adalah noverl Murakami pertama yang aku baca. Novel setebal 426 Halaman ini aku lahap kira-kira hanya dua hari saja, ya begitu cepat bila dibanding aku membaca buku-buku teori yang membuat kepalaku berdenyut. Dua hari itu aku seperti merasa terbawa pada dunia Toru Watanabe, tokoh utama dalam novel tersebut, mengalir begitu saja, menyelami hidupnya yang berliku dan bisa dibilang rumit untuk anak yang berusia 20-an. Alur cerita yang dibuat Murakami bagiku begitu realistis, absurd dan membuat si pembaca menjadi bagian dari novel tersebut; hidup sekali penggambarannya. Norwegian Wood bukan hanya sekedar novel cerita cinta, namun begitu banyak refleksi kehidupan yang diberikan.      Membaca lembar demi lembar Norwegian Wood aku secara nisbi mengingat tiga hal yakni bunuh diri, aktivis gadungan dan dia. Banyak orang mengira bunuh diri menjadi suatu yang menjijika

Opini : Ber-Islam

Berislam, apa sebenarnya makna berislam? Ber- dalam KBBI bermakna sesuatu melakukan, adupun Islam, secara akar kata dalam Bahasa Arab mempunyai artis sebagai ketundukan, pemyerahan diri, keselamatan, dan kedamaian, sehingga makna berislam dapat kita artikan yakni melakukan seseuatu atau beraktivas sebagai bentuk ketundukan untuk mencapai kedamaian, yang mana itu berarti tidak lebih sekedar sebuah ritual belaka. Akan tetapi, berislam seringkali dikontasikan dengan hal ihwal yang berurusan dengan Ilahiyah, Tuhan, Allah—hablluminallah saja atau melakukan kegiatan akhirat, semisal berpuasa, sholat, mengaji, dan lain sebagainya—sebagian masyarakat kita cenderung demikian. Bagi saya, ini yang menjadi pangkal permasalahan kenapa masyarakat muslim Indonesia begitu “gila” akan akhirat dan pahala, karena begitu sempit memaknai Islam yang dianutnya. Padahal jika kita mengkaji asal muasal Islam turun bahwa intinya Islam yang dibawa Muhammad merupakan Rahmatan Lil Alamain—rahmat bagi semua—enta

Short AU: Bukan Minke dan Annelies

         Aku lupa kapan pertama kali kita bertemu, dalam sebuah ruang dan waktu yang memang sudah ditakdirkan oleh sang Kuasa. Aku hanya mengingat ketika seorang teman menyebut namamu dalam bingkai kekaguman akan tulisanmu. Dia menyebutmu sebagai guru dengan tindak tandukmu yang menurutnya begitu luar biasa.       “Aku suka si Andy, dia mengajariku bagaimana cara membaca yang benar dan kau tahu Andy tidak pernah mengejekku atau yang lain perihal tulisanku, pendapatku, atau bicaraku, dia selalu merendah,” jelas Fauzi dengan semangatnya.          Aku yang belum tahu tentangmu pun hanya bisa menganguk dan sesekali menjawab “oh apakah begitu zi”. Jawab ku singkat dengan memasang mimik muka yang terlihat antusias, bibirku tersenyum. Dan sejak saat itu aku mulai penasaran dan mencari tahu tentangmu. Aku diam-diam membuka akun sosialmu, membacai tiap tulisan yang kamu post di salah satu website pribadimu, dan sedikit-sedikit mencuri tentangmu dari salah satu teman yang dekat dengam

Sebuah Tanya

Jika beragama tidak bisa membuat kita lapang dada. Jika beragama tidak bisa membuat kita menerima perbedaan. Jika beragama membuat kita terlalu berlebihan. Jika beragama buat kita makin binal. Jika beragama buat kita kafir-kafiran. Jika beragama buat kita makin mudah memaki orang. Jika beragama membuat kita menjauhi apa yang namanya itu kasih sayang. Jika beragama makin buat kita terpolarisasi, semu dalam duniawi. Jika beragama makin buat kita 'buta". Jika beragama makin buat kita berjarak dengan segalanya. Jika beragama makin buat kita hanya mengingat Tuhan semata. Dan jika beragama hanya membuat orang lupa dengan arti kalimat "kita itu sama-sama ciptaan yang maha Kuasa". Jika beragama hanya pemahaman tekstual semata. Lupa kanan-Lupa Kiri. Selalu keatas-abai ke bawah. Jadi, gunakah aku, kamu, kalian beragama?

Sekat

          Libur tiga hari menjadi parcel yang indah ditengah tugas yang menggeliat ingin disentuh. Libur itu rencanya aku gunakan untuk menggerjakan tugas-tugas kuliah sembari menyelesaikan bacaan buku yang masih tersisa beberapa lembar bab lagi. Namun, rencana yang tertulis di angan hingga bunga tidurku, urung terlaksana karena kemalasan dan sakit mata yang mendera. Tiba waktu liburan yang bakal habis. Tugas tak terjamah. Untungnya novel Pram yang berjudul Rumah Kaca hampir aku selesaikan. Aku membacanya sekitar 4 jam dengan ditemani secangkir kopi hitam pekat dan alunan musik 2000-an. Sore hingga malam itu terasa sungguh mengasikan.           Derum kendaran, derap kaki yang berlalu lalang di kosan tak menyurutkan atau menganggu aku dengan bacaanku, dunia serasa sudah milikku dengan Pangemanann—tokoh dalam novel Rumah Kaca. Membacai tiap bab rumah kaca buat pikiran, hati, dan perasaan ini campur aduk, dihajar oleh nurani dan kalut realita yang ada. Bangsaku, bangsa Indonesia ya

Buku bagus : Ekonomi Politik Kolonialisme

Kali ini, saya tidak lagi membuat puisi-puisi kegundahan hati atau puisi tentang bejatnya negeri ini. Namun, saya akan mengulas buku dari mbak Hesti Hasanah tentang ekonomi politik kolonialisme.             Industri gula menjadi salah satu industri yang paling menguntungkan dan penting ketika zaman kolonial Belanda. Banyak sekali pabrik-pabrik gula yang berdiri ketika itu khususnya di pulau Jawa, salah satu pabrik gula yang bisa dikatakan besar dan menjadi sumber keuntungan melimpah oleh Belanda yakni Pabrik Gula milik Mangkunegaran.             Mangkunegaraan adalah wilayah kekuasaan yang berbentuk praja/kerajaan kecil dan kadipaten besar. Sebelumnya, Mangkunegaran merupakan bagian dari kasunanan Surakarta kemudian menjadi kerajaan mandiri yang patut disegani karena memiliki Legiun/tentara. Dampak politik kemandirian Mangkunegaran menjadi keuntungan bagi pemerintah Belanda untuk mengimbangi kekuatan Susuhunan (Kasunan Surakarta) . Pembangunan Industri gula mangkunegaran dimulai

Takut

Aku takut. Malam berubah siang dengan ratap tangis kepapaan. Aku takut. Dewi padi tidak akan tersenyum gemilang untuk negeri tercinta. Aku takut. Gunung-gunung tidak akan menjulang kokoh. Teraniaya oleh modernitas. Aku takut. Semangat ibu-ibu  menentang kelaliman itu patah dengan perlahan. Akibat jerat rakus kapitalisme. Todongan senjata dalam tenda-tenda Aku takut. Kemanusian dipandang sebelah mata. Bela kemanusian bagai lipstik saja.  Menutup hati. Menutup belas kasih.  Aku takut. Orang-orang menjadi barbar oleh hoax yg bertebaran.  Makin bodoh, meludahi tumpukan buku, percaya pada dogma-dogma. Menghamba yang dipertuan agung. Sumbu pendek menjadi khasnya. Aku takut. Dewan terhormat makin memperkaya diri. Mengerat kesejahteraan.  Menghisap kemakmuran.  Aku takut. Air tidak mengalir di pegunungan. Mengeringkan pematang. Membasahi kantong para tuan. Aku takut. Pendidikan hanya ladang uang, sarjana hanya hiasan, lantas ilmu menjadi mainan.

Sekelumit cerita dari Pancasila

               Sebelum cerita ini dimulai, saya menginggatkan pada para pembaca budiman. Bahwasanya tulisan ini bukan untuk mendiskriditkan salah satu organisasi. Cerita ini saya buat hanya bertujuan untuk berbagi pengalaman ketika menjadi kader PMII. selain itu, saya berharap tulisan ini bisa menginsipirasi adik-adik MABA yang masih bingung memilih organisasi ekstra, dan teruntuk mahasiswa yang memandang organisasi ekstra hanya sebelah mata dan berorientsi pada jabatan kampus semata (politik praksis). Saya katakan kalian salah besar. Organisasasi ekstra tidak untuk itu.  Yuk kita mulai ceritanya.  Mahasiswa baru atau maba adalah sebutan bagi siswa/i yang baru saja diterima di universitas. Maba terkenal dengan sifatnya yang cenderung bingung, gugup, takut, penurut, dan “suka kumpul-kumpul”. Ya, maba suka kumpul-kumpul atau istilahnya gathering kelompok , kumpul bikin tugas, ngerumpi, atau hanya sekedar ingin berkenalan saja. Dari gathering itu, banyak sekali kakak tingkat yang

Hei, Bung

Hei, bung aku ingin bercerita. Ihwal sakitnya negeri ini.  Paradoks dengan keniscayaan. Pancasila entah kemana.  Sejarah dibuang percuma.  Pahlawan diinjak sekenaknya.  Dihina sepuasanya.  Dipandang bagai sampah.  Kaum hipokrit bermunculan bak jamur dimusim hujan.  Menebar ayat-ayat.  Primodialisme tak lupa.  Muak aku melihatnya. Negeri ini dijejali sumpah serapah.  Makian. cacian  Sampah kata bertebaran di mana-mana. Dusta menjadi santapan para tukang bejak, petani, guru, agamawan, pengamen, pelacur hingga pencuri. Asupan gizi kaum pemarah sudah biasa.  Ditelan mentah-mentah.  Busuknya sudah tak terasa.  Penguasa keparat bersuka cita.  Kemenangan telah diraih.  Asa telah direngkuh Moral diludahi Masa bodoh dengan tenun Bhineka.  Hei Bung, aku melihat anak menangis kelaparan, sejawat bermusuhan, petani yang dirampas tanahnya, pejuang agraria yang dibunuh percuma, derai kemiskinan menghantar pada sang pencipta. Gurat nestapa t

Pendidikan dan Kemanusiaan

Pendidikan dan Kemanusiaan             Seyogyanya pendidikan merupakan tonggak perubahan dalam sebuah bangsa dan negara. Pendidikan adalah alat perlawanan serta pendulum dalam memanusiakan manusia hingga muncul sebuah karakter yang bermartabat dalam dirinya. Pentingnya pendidikan pun sudah termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yang mana salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, itu berarti pendidikan yang mumpuni adalah kunci untuk mencapai hal tersebut. Namun, sangat ironi sekali pendidikan Indonesia dulu hingga sekarang tidak mengubah bangsa ini dalam penjajahan, baik itu penjajahan fisik ataupun penjajahan mental.  Pendidikan di negeri ini makin direduksi dengan segala bentuk kapitalisasi dan pelbagai penindasan yang justru dilakukan oleh pihak elit dan pengajar, birokrat negeri ini. Beberapa tahun terakhir kita dicengangkan oleh pelbagai pemberitaan yang memperlihatkan betapa bejatnya moral anak bangsa, guru, hingga birokrat yang katanya terdidik serta te