Sekat
Libur tiga hari menjadi parcel yang indah ditengah tugas yang menggeliat ingin disentuh. Libur itu rencanya aku gunakan untuk menggerjakan tugas-tugas kuliah sembari menyelesaikan bacaan buku yang masih tersisa beberapa lembar bab lagi. Namun, rencana yang tertulis di angan hingga bunga tidurku, urung terlaksana karena kemalasan dan sakit mata yang mendera. Tiba waktu liburan yang bakal habis. Tugas tak terjamah. Untungnya novel Pram yang berjudul Rumah Kaca hampir aku selesaikan. Aku membacanya sekitar 4 jam dengan ditemani secangkir kopi hitam pekat dan alunan musik 2000-an. Sore hingga malam itu terasa sungguh mengasikan.
Derum
kendaran, derap kaki yang berlalu lalang di kosan tak menyurutkan atau menganggu
aku dengan bacaanku, dunia serasa sudah milikku dengan Pangemanann—tokoh dalam
novel Rumah Kaca. Membacai tiap bab rumah kaca buat pikiran, hati, dan perasaan
ini campur aduk, dihajar oleh nurani dan kalut realita yang ada. Bangsaku,
bangsa Indonesia yang katanya bangsa yang kaya ternyata tidak lebih dari sampah
Belanda. Bukan… bukan bangsa Indonesia yang sejenis Raden Mas Minke—tokoh novel
Pram yang memilki pemikiran Eropa, progresif, dan berjuang untuk bangsanya-- bangsa sampah itu seperti watak pangemanann dengan kolonialnya, yang menindas
bangsanya sendiri, opurtunis, dan gila kehormatan palsu. Bajingan hamba
kolonial. Pangemanan dengan dua n tidak lebih dari hasil sampah
kolonial yang berkecamuk di negeri ini. Aku belum bisa menyimpulkan keseluruhan
bagaimana Pangemananann—nurani dan nafsunya sebab aku masih menyisakan beberapa
bab lagi. Sejauh ini yang aku nilai dari Pangemanan dengan dua n tersebut.
Nampak
hari ini tidak hujan sama sekali, novel aku tutup karena kepala ku
berdenyut-denyut. Aku buka gawai dan menemukan sebuah video tentang keadaan
orang Belanda dan Pribumi. Video tersebut sungguh membuat nelangsa, dalam
video tersebut diceritakan ada seorang anak Belanda dengan ditemani
Ibunya hendak membeli mainan, dan yang menjajakan maianan tersebut yakni
anak pribumi yang seusia dirinya. Paradoks sekali potret kehidupan kolonial
yang keparat itu, Tuan “mengemis” di negeri sendiri, sedang tamu yang tidak dipersilakan
masuk menjarah makanan sang Tuan. Kadang aku berpikir, kenapa Tuhan menciptakan
rasa duka, rasa sengsara, dan kesulitan yang ujung-ujungnya hanya membuat
banyakan orang putus asa dan tak pernah dihinggapi rasa bahagia. Namun, jika
semua orang bahagi dan memilki segalanya mungkin tidak ada yang namanya rasa
gemati dan simpati pada sesama—manusia hanya akan menjadi seonggok daging yang
berjalan sendiri-diri, menjadi binatang jalang. Kondisi macam kolonial tidak
jauh berbeda dengan sekarang, abad ke 21 di negeri Indonesia.
Watak-watak
kolonial masih tertancap kuat, mengaliri tiap ubun para pejabat, dan
meninabobokan semangat juang bangsa dalam melawan penjajah modern. Demi
kekuasan, kehormatan dan kesenangan nurani terhempas menjadi abu jalanan yang
barangkali diingat ketika malaikat israil hendak menjemputnya, lebih bangsatnya
jika tidak sadar sama sekali. Aku berduka pada yang kedua ini.
Nurani dan nafsu tersekat dengan tembok kokoh yang bernama
kekuasaan.
April, Malang
yang bingung dalam kalut malam
Komentar
Posting Komentar