Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Pengalaman Mengikuti Training Writing for Women Writer

Saya berkesempatan untuk mengikuti kegiatan Asian Muslim Network Indonesia yang bertajuk Training Writing for Women Writer. Acara berlangsung selama dua hari yakni pada tanggal 7-8 Oktober di Tlekung, dengan diisi berbagai materi seperti materi mubadalah, menulis, platform media dan lain sebagainya. Hal yang menarik dari acara ini selain saya ketemu dengan penulis kocak kesukaan saya, Kalis Mardiasah, saya juga bertemu dengan Pak Faqih. Yang mana beliau memberikan pandangan baru ihwal relasi perempuan dan laki-laki. Seringkali kita pahami bahwa terori feminisme yang dicetuskan oleh para permikir barat merepresntasikan dan mewakili relasi perempuan dan laki-laki. Di mana membahas suatu entitas yang terdominasi dan yang mendominas. Terdominasi dan tertindas dan tidak terpenuhi haknya dan atau tidak setaranya ia dengan yang lain, tentu saja 'ia' yang dimaksud adalah perempuan. Teor-teori feminisme barat seringkali mengkritik/terlalu menentang laki-laki dan ingin membuat d

Raya yang Tak Cita

Jumat, tepatnya tanggal 15 Juni, datang hari perayaan kemenangan umat Islam di seluruh dunia. Lantunan takbir menalu nalu dalam masjid dengan diiringi tabuhan dari perkakas sederhana entah galon atau semcamanya. Memang, masjid yang dimiliki desaku tidak ada bedug, ia pun hanya berukuran seluas kira-kira 300 meter saja, dindingnya telah berganti hampir tiap tahunnya, sekarang bercat hijau kombinasi putih dan sekelilingnya dihiasi pagar hasil iuran jamaah masjid. Ketika datang hari raya besar macam idul fitri dan idul adha, ia tak mampu menampung banyak jamah pria dan wanita. Dan terpaksa para jamaah lain, sholat dengan menggelar tikar di luar masjid. Sebulan aku berpuasa dengan kuhabiskan di tempat perantauan yaitu Malang. Berpuasa di kota perantauan bagiku ada suka dan dukanya. Sukanya aku mungkin bisa menjelajah masjid-masjid sekitar untuk berbuka puasa dengan lauk yang macam-macam, selain itu aku bisa menghabiskan malam puasa dengan bergurau bersama kawan sejawat. Dan aku bisa

Emak: Catatan Rindu

Hari itu, jumat malam tepatnya seminggu sebelum ramadhan akan berakhir, aku sendiri di kamar kosan yang luasnya hanya 2x3 meter saja. Aku memang belum pulang ke kampung karena masih ada tugas yang belum selasai. Malam itu angin cukup dingin hingga membuat bulu kuduk ini harus diselimuti sarung yang dibawakan Imbok dari rumah. Lampu sengaja kumatikan karena aku beranjak untuk tidur. Beberapa menit kupaksa mata ini untuk memejam dalam malam yang sunyi. Kicauan burung yang tiada henti, jangkrik yang saut menyaut dengan lantunan ayat suci Quran di Surau dekat kosanku, makin membuat mata ini menyala dengan pikiran yang kalut akan kerinduan dengan kampung halamanku. Makin kucoba untuk memejam, makin terlukis bayang-bayang Emak, dan Imbok di tiap sel otakku. Pikiran ini terus melayang, menerjang bayang hitam, mencoba meraba kenangan masa kecilku yang penuh warna, sendu dan tawa. Aku tak pernah membayangkan akan diasuh oleh seorang Emak yang begitu tangguh. Pada malam i

Di Balik Hijrah dan Hijab

Tentang Malang: Memoar yang Terus Terkenang

      Pagi hari, matari sudah nampak menampakan sinar kuning keeamasannya. Burung terdengar bercuit, tukang bubur membunyikan mangkok “ting ting ting” dan ibu-ibu kompleks sekitar kosku yang sibuk berbelanja depan tempat kosanku. Entah kenapa tiba-tiba aku merasakan sesak yang ada di dada. Pikiran lantas tertuju dengan beban tugas akhir yang harus aku selesaikan. Pun aku juga memikirkan Malang dan tetek bengeknya . Malang, sebuh kota yang tidak terlalu cukup luas dengan udara dingin yang menyelemuti di bulan-bulan mei hingga agustus. Jika dingin di bulan itu, artinya masa-masa penerimaan mahasiswa baru sudah dimulai. Malang memang terkenal dengan kota pelajar, karena banyak universitas yang bercokol disana. Barangkali setengah penduduk kota ini memang pelajar perantauan termasuk aku. Di kota ini aku menimbah ilmu barang tiga tahun lebih, yang artinya aku akan segera lulus. Kata lulus bergelayutan dalam pikiran ini, secara nisbi mendektekan sebuah rasa sedih dan senang. Sena

Ara, aku bertanya.

Hari sebelumnya aku disibukan dengan membaca buku-buku teori yang buat kepalaku berdenyut dan begitu pening. Buku teori itu aku gunakan untuk menghadapi ujian seminar proposal yang makin dekat. Terkadang aku kesal, kenapa juga harus membaca buku yang sama sekali tidak aku suka. Untuk menghilangkan stress yang makin mendera, aku putuskan untuk   pergi memberli novel Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Larasati. Aku beli novel itu di sebuah tempat perbelanjaan yang begitu ramai akan muda mudi yang sekedar nongkrong, jalan-jalan atau makan di restoran cepat saji yang ada di sana. Novel itu terbilang cukup murah, tidak sampai 50.000. Sesampainya di Kosan, aku buka dengan hati gembira seperti anak kecil yang gatal membuka kado di hari natal. Pertama, aku buka plastik sampul novel   itu lantas, ku ciumi kertas novel tersebut. Yah, memang sudah menjadi kebiasanku saat membeli novel atau buku. Entah kenapa bau-nya menambah gairah untuk segera melahap halaman per halaman, kata demi kata,