Tentang Malang: Memoar yang Terus Terkenang



     



Pagi hari, matari sudah nampak menampakan sinar kuning keeamasannya. Burung terdengar bercuit, tukang bubur membunyikan mangkok “ting ting ting” dan ibu-ibu kompleks sekitar kosku yang sibuk berbelanja depan tempat kosanku. Entah kenapa tiba-tiba aku merasakan sesak yang ada di dada. Pikiran lantas tertuju dengan beban tugas akhir yang harus aku selesaikan. Pun aku juga memikirkan Malang dan tetek bengeknya. Malang, sebuh kota yang tidak terlalu cukup luas dengan udara dingin yang menyelemuti di bulan-bulan mei hingga agustus. Jika dingin di bulan itu, artinya masa-masa penerimaan mahasiswa baru sudah dimulai. Malang memang terkenal dengan kota pelajar, karena banyak universitas yang bercokol disana. Barangkali setengah penduduk kota ini memang pelajar perantauan termasuk aku.


Di kota ini aku menimbah ilmu barang tiga tahun lebih, yang artinya aku akan segera lulus. Kata lulus bergelayutan dalam pikiran ini, secara nisbi mendektekan sebuah rasa sedih dan senang. Senang aku bisa lulus dan segera saja aku bisa mewujudkan mimpi-mimpi orangtuaku. Aku memang sedikit egois dengan diriku sendiri, aku menempuh jalur formal pendidikan hingga univeristas hanya untuk mewujudkan mimpi orangtuaku, sedang aku sebagai anak, sebagai pelajar, sebagai manusia, sebagai calon sarjana tidak memilik mimpi apapun. Kekalutan masih menyelimuti hati dan pikiran mana jalan yang bakal aku tempuh. Memang klasik perasaan macam itu dan memang sudah terjadi berulang-ulang, namun belum dapat ku pilih jalan terang di antara jalan berliku di hutan belantara kehidupan


Tidak hanya itu, rasa sedih pun bergelayutan dalam hati ini. Bukan karena apa, sedih karena meninggalkan kehidupan malang yang dipenuhi dengan nuansa pengetahuan. Ruang-ruang diskusi yang tergelar di mana-mana. Warung kopi yang hangat dengan pertemananan, canda tawa dan seringkali memberikan pengetahuan baru dengan obrolan yang terbentuk. Tentunya, dengan obrolan yang berkualitas, tidak melulu pragmatis, apalagi oportunis. Nama-nama Karl Marx, Nietzche, Hegel, Engel dan Pramoedya Ananta Toer terdikte di otaku dan menjadi arum wangi yang menemani kala menyeruput kopi. Yang barangkali, tak ku temukan di Warung Kopi tempat kota kelahiranku sendiri. Atmosfir Malang sebagai kota pelajar akan membuatku kangen dengan segala macamnya. Kopi, Buku, Diskusi dan Aksi, empat hal itu yang buatku sedih akan meninggalkan Malang. Malang, air, dinginmu, ocehanmu, ramahmu, bahasamu, kopimu, egoismu buatku menjadi orang yang sedikit berguna untuk menyiapkan bekal menghapai gelapnya hutan belantara yang akan aku tempuh.

Malang, kau telah memberikan rol-rol baru dalam perjalanan hidupku. Sebuah takdir yang diberikan Tuhan, agar aku bisa menjadi “manusia”. Langkah besar yang berhasil aku tempuh meninggalkan keluarga dan kota Kelahiran demi bersua dan menginjakan di tanahmu. Tanah Arema, semoga selalu kau akan tetap bersahabat denganku. Memutarkan rol kehidupan entah pahit atau menyenangkan akan tetap kuterima.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Emak: Catatan Rindu

Takut

Ara, aku bertanya.