Raya yang Tak Cita
Jumat, tepatnya tanggal
15 Juni, datang hari perayaan kemenangan umat Islam di seluruh dunia. Lantunan
takbir menalu nalu dalam masjid dengan diiringi tabuhan dari perkakas sederhana
entah galon atau semcamanya. Memang, masjid yang dimiliki desaku tidak ada
bedug, ia pun hanya berukuran seluas kira-kira 300 meter saja, dindingnya telah
berganti hampir tiap tahunnya, sekarang bercat hijau kombinasi putih dan
sekelilingnya dihiasi pagar hasil iuran jamaah masjid. Ketika datang hari raya
besar macam idul fitri dan idul adha, ia tak mampu menampung banyak jamah pria
dan wanita. Dan terpaksa para jamaah lain, sholat dengan menggelar tikar di
luar masjid.
Sebulan aku berpuasa
dengan kuhabiskan di tempat perantauan yaitu Malang. Berpuasa di kota
perantauan bagiku ada suka dan dukanya. Sukanya aku mungkin bisa menjelajah
masjid-masjid sekitar untuk berbuka puasa dengan lauk yang macam-macam, selain
itu aku bisa menghabiskan malam puasa dengan bergurau bersama kawan sejawat.
Dan aku bisa menghabiskan waktu seharian dengan hanya menonton film atau
mengerjakan sedikit tugas dengan tenang.
Duka yang kualami, barangkali aku tidak bisa berbuka atau sahur bersama
keluarga serta ada rasa kesepian jika menjelang tidur.
Mirisnya, hampir 25
hari puasa ramadlan tidak ada hal yang bermakna kurasakan ataubahkan kulakukan.
Sholat kujalani dengan seadanya, membaca quran pun juga aku hanya lakukan dua
kali saja selama ramadhan, miris, padahal ramdhan adalah ladang pahala untuk
yang percaya. Aku termasuk dalam hal itu. Tidak ada ritus-ritus peribadatan
yang aku lakukan dengan khusyuk seperti kala aku duduk dibangku SD hingga
Madrasah Aliyah. Padahal, semakin bertambah umur harusnya sadar diri, kelak
kita akan kembali, kembali ke haribaan-Nya. Menjadi tanah. Dan tak berjumpa
dengan germelapnya dunia. Dunia yang kujalani, kurasai, makin menenggelamkanku
pada sesak dosa yang kuperbuat.
Hari kemenangan pun
tiba, tidak ada hal yang begitu mengesankan pada tahun ini, entah karena puasa
aku jalankan seadanya atau bagaimana. Raya kulewati dengan ala kadarnya,
berkeliling ke rumah tetangga dan sanak saudara. Sudah itu saja. Perayaan yang
dulu, 22 tahun yang lalu, tidak ada dalam perasaan ini: riang seperti anak
kecil yang selalu gatal ketika hendak membuka hadiah. Ah, kemana pula rasa ini,
apakah sudah tenggelam dalam samudra kesenangan duniawi?
Seringkali kita gagal
paham, bahwa hari kemenangan tiba adalah puncaknya kita menjadi “baik”, sholat
tepat waktu, mengaji dan bershodaqoh thampir tiap hari. Padahal hari kemenangan
adalah bagaimana mempertahankan “kemenangan” melawan segala nafsu dan amarah,
senantiasa berbuat baik hingga jiwa kita bertemu dengan sang Rabb. Hingga hari
akhir tiba. Allahumallambishowab.
Komentar
Posting Komentar