Ara, aku bertanya.
Hari sebelumnya aku
disibukan dengan membaca buku-buku teori yang buat kepalaku berdenyut dan begitu pening. Buku teori itu aku gunakan untuk menghadapi ujian seminar
proposal yang makin dekat. Terkadang aku kesal, kenapa juga harus membaca buku yang
sama sekali tidak aku suka. Untuk menghilangkan stress yang makin mendera, aku
putuskan untuk pergi memberli novel
Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Larasati. Aku beli novel itu di sebuah
tempat perbelanjaan yang begitu ramai akan muda mudi yang sekedar nongkrong,
jalan-jalan atau makan di restoran cepat saji yang ada di sana. Novel itu
terbilang cukup murah, tidak sampai 50.000.
Sesampainya di Kosan,
aku buka dengan hati gembira seperti anak kecil yang gatal membuka kado di hari
natal. Pertama, aku buka plastik sampul novel itu lantas, ku ciumi kertas novel tersebut.
Yah, memang sudah menjadi kebiasanku saat membeli novel atau buku. Entah kenapa
bau-nya menambah gairah untuk segera melahap halaman per halaman, kata demi
kata, huruf demi huruf. Aku menghabiskan novel tersebut tidak lama kira-kira
dua hari lamanya. Pikiranku kacau tiap Larasati memikirkan sebuah kejadian atau
suara lantangnya tentang revolusi. Kengerian memburuku saat pemuda-pemuda yang
berjuang untuk revolusi namun, mati ditembak inlander. Ah, sebelum memperoleh
kemerdekaan hingga merdeka 65 tahun lamanya adakah perubahan? Batinku, ketika
aku tutup halaman akhir novel tersebut.
Tiap hari aku disuguhi
berita tentang bobroknya negeri ini. Jilatan para pemimpin, rongsokan janji
para politikus, tikus yang berkeliaran di Senayan, hoax yang membungkan dan
menutup akal sehat masyarakat. Ah, aku berduka pada kesemrawutan ini. Larasati,
Ara, Ara kobaran revolusi apakah sudah mampus ditangan orang-orang yang haus
sanjungan? Haus tepuk tangan? Gila harta itu? Ara, Ara apakah tidak ada jalan
lain untuk mencapai revolusi, sedang genderang perang untuk para penjilat dan
tikus itu masih belum dibunyikan oleh rakyat. Apa mesti yang kita lawan? Apa mesti
yang kita pertahankan, Ara?
Pembesar-pembesar itu
rasa-rasanya aku sudah muak. Apa perbuatan mereka yang menjadikan negeri ini
makmur. Sedang, kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki di kursi permadani. Semua orang
akan menjadi penjilat pada suatu masa. jika urusan perut sudah tak tertahankan.
Jika akal sehat sudah mati bersamaan dengan hati nurani. Tidak adakah yang
lebih sampah dengan macam orang-orang itu. Semua akan bicara uang dan harta yang
tak seberapa.
Komentar
Posting Komentar