Hei, Bung


Hei, bung aku ingin bercerita.
Ihwal sakitnya negeri ini. 
Paradoks dengan keniscayaan.
Pancasila entah kemana. 
Sejarah dibuang percuma. 
Pahlawan diinjak sekenaknya. 
Dihina sepuasanya. 
Dipandang bagai sampah. 

Kaum hipokrit bermunculan bak jamur dimusim hujan. 
Menebar ayat-ayat. 
Primodialisme tak lupa. 
Muak aku melihatnya.

Negeri ini dijejali sumpah serapah. 
Makian. cacian
 Sampah kata bertebaran di mana-mana.
Dusta menjadi santapan para tukang bejak, petani, guru, agamawan, pengamen, pelacur hingga pencuri.
Asupan gizi kaum pemarah sudah biasa. 
Ditelan mentah-mentah. 
Busuknya sudah tak terasa. 

Penguasa keparat bersuka cita. 
Kemenangan telah diraih. 
Asa telah direngkuh
Moral diludahi
Masa bodoh dengan tenun Bhineka. 

Hei Bung, aku melihat anak menangis kelaparan, sejawat bermusuhan, petani yang dirampas tanahnya, pejuang agraria yang dibunuh percuma, derai kemiskinan menghantar pada sang pencipta.
Gurat nestapa tak pernah hilang pada setiap wajah.
Atas nama pembangunan. 
Atas nama kekuasaan. 
Atas nama kemapanan. 
Nyawa, bhineka, raga tak berharga, barang satu sen. 

Anjing-anjing fasisme melolong dengan angkuhnya. 
Mengigit tiap benang kesatuan. 
Menakuti impian para pahlawan. 
Setia menjaga jengkal kapling kekuasaan.

Hei Bung, aku berduka pada negeri ini. 

Perjalanan Malang-Surabaya
10 Febuari 2017
*puisinya sudah dipost di web Rayon Pancasila

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Emak: Catatan Rindu

Takut

Ara, aku bertanya.