Pendidikan dan Kemanusiaan
Pendidikan
dan Kemanusiaan
Seyogyanya
pendidikan merupakan tonggak perubahan dalam sebuah bangsa dan negara.
Pendidikan adalah alat perlawanan serta pendulum dalam memanusiakan manusia hingga
muncul sebuah karakter yang bermartabat dalam dirinya. Pentingnya pendidikan
pun sudah termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yang mana salah satu tugas negara
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, itu berarti pendidikan yang mumpuni
adalah kunci untuk mencapai hal tersebut. Namun, sangat ironi sekali pendidikan
Indonesia dulu hingga sekarang tidak mengubah bangsa ini dalam penjajahan, baik
itu penjajahan fisik ataupun penjajahan mental.
Pendidikan di negeri ini makin direduksi dengan
segala bentuk kapitalisasi dan pelbagai penindasan yang justru dilakukan oleh
pihak elit dan pengajar, birokrat negeri ini. Beberapa tahun terakhir kita
dicengangkan oleh pelbagai pemberitaan yang memperlihatkan betapa bejatnya
moral anak bangsa, guru, hingga birokrat yang katanya terdidik serta terpelajar.
Kasus pemerkosaan, pencurian dan penganiayaan yang dilakukan guru pada murid
atau sebaliknya sering menghiasi pemberitaan. Seperti yang dilansir dari
Kompas.com, beberapa bulan terakhir
wajah pendidikan indonesia semakin buram dengan adanya kasus Yuyun, yuyun adalah
siswa SMP yang diperkosa hingga dibunuh oleh 14 remaja yang juga adalah kakak
kelasnya. Kemudian, penganiyaan murid dan orang tuanya pada Guru Arsitektur SMK
di bengkulu karena tidak terima anaknya di bentak oleh guru tersebut dan banyak
sekali kasus antara guru dan murid yang berakhir di pidana. Namun, kasus
tersebut hanya secuil noda di wajah pendidikan kita.
Kasus
diatas dapat dijadikan sebuah tanda kondisi pendidikan negeri ini. Potret buram
dan gelap pendidikan merupakan hasil dari sistem pendidikan dan pola pengajaran
yang terlalu formal-legalistik, hingga struktur budaya masyrakat yang rendah
ihkwal makna sebenarnya pendidikan tersebut. Kita tidak bisa menafikan bahwa masyarakat
kita masih mengganggap pendidikan hanya ukuran tinggi rendah nya ia bersekolah,
bagus tidaknya pekerjaan yang didapat kelak lulus, atau dimana dia bersekolah
(sekolah formal), masyarakat hingga institusi pendidikan mengukur sebuah
keberhasilan atau tolak ukur dalam pendidikan hanya semata berdasar ukuran yang
bersifat kuntitatif dan mengabaikan ukuran kualitatif. Tanpa tahu atau bahkan
tidak ingin tahu, proses pendidikan tidak sesempit dalam pengertian angka,
nilai, dan seberapa bagus seorang lulus dari institusi pendidikan. Pendidikan
oleh masyarakat hanya dijadikan sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasan dan
kekayan. Ukuran kuantitas tersebut sudah menjadi semacam dogma yang dipegang
teguh oleh masyarakat, yang mana jika individu “menyimpang” dari penilian itu
akan dipandang aneh. Contoh kecil yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang
yaitu mengganggap jika ilmu pengetahuan alam sangat penting dan akan
menghasilkan nilai prestise yang
tinggi serta memiliki prospek yang jelas, sedang ilmu sosial atau humaniora
sebagai ilmu “nomer dua”. Dengan anggapan tersebut maka sesungguhnya telah
menyempitkan makna pendidikan yang harusnya bisa membangun karakter dan pola
pikir kritis konstruktif serta tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang
bersifat materialistis. Pendidikan atau edukasi tidak hanya berbicara teori dan
refleksi belaka namun lebih pada bagaimana transformasi nilai, budaya, dan
pengetahuan berjalan dengan baik, sehingga akan membentuk ciri atau karakter
individu dalam lingkungannya.
Deposit
pengetahun ilmu
Menurut
Paulo Freire dalam bukunya pendidikan
kaum tertindas, pendidikan adalah alat untuk menentang segala bentuk
penindasan, mengubah dehumanisasi menjadi humanisasi, dan membuat kaum
tertindas untuk memberi “kata“ dan menamai dunia mereka. Selama ini pendidikan
tidak memiliki ruh untuk membebaskan manusia, meng-humaniskan manusia, dan hanya
membuat manusia selalu mengekor pada si penindas, borjuis kapitalis. Tidak lain
karena sistem pendidikan yang diterapkan kurang tepat, yakni pendidikan gaya
bank. Pendidikan gaya bank dapat dikatakan
sebagai pendidikan dengan pengajaran pola transfer ilmu tanpa memahami
dan memaknai betul pengetahuan tersebut. Selama mengenyam pendidikan formal,
mayoritas dari kita hanya mencatat dan menghafal teori-teori tanpa mengerti
makna teori itu apa, sekedar tahu tanpa mengerti, sekedar tahu tanpa melakukan
praksis. Pengetahuan yang “diajarkan“ pengajar seakan-akan jauh dari realitas
yang ada.
Pendidikan gaya bank memberikan ruang gerak yang
disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan
menyimpan (Baca : Paulo Freire,
Pendidikan Kaum tertindas). Pendidikan gaya bank memposisikan guru sebagai
sosok yang berpengetahuan sedangkan anak didik diposisikan sebagai manusia yang
tidak berpengetahuan, sehingga para pengajar menganggap anak didik sebagai wadah-wadah kosong yang siap diisi
oleh pengajar. Semakin lincah anak didik menghafal isi daripadi teori atau
pelajarannya serta mendapat nilai yang diukur baik, maka pengajar mengganggap dirinya
telah berhasil.
Konsep pendidikan yang demikian hanya menganggap
sempit serta mencederai makna pendidikan itu sendiri. Padahal Freire memberikan
sebuah diktum penting ikhwal anggapan bodoh secara mutlak pada orang lain
adalah ciri ideologi penindasan, yang berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan
sebagai proses pencarian. Freire memberikan catatan kebiasaan atau keadaan yang
mengisyaratkan adanya penindasan dalam sebuah masyarkat seperti guru mengajar-
murid diajar, guru mengetahui -murid tidak mengetahui apa-apa, guru berpikir -murid
dipikirkan, guru bercerita murid -patuh mendengarkan, guru menentukan peraturan
-murid diatur, guru memilih dan memaksakan pilihannya- murid menyutujui, guru
berbuat-murid membayangkan, guru memilih bahan dan isi pelajaran-murid
menyesuaikan, guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan serta jabatnya
yang berarti menghalangi kebebasan murid, guru adalah subjek dalam belajar -murid
hanya objek. Keadaan kontradiksional antara guru murid yang digambarkan oleh
Freire tersebut menghasilkan “manusia-manusia yang bukan manusia“, manusia yang
seperti benda yang dapat sekenaknya diisi dan dibentuk pola pikirnya.
Deposit pengetahuan antara murid dan guru yang
terjadi selama ini dalam sistem pendidikan hanya memunculkan banyak manusia
“robot“ atau bisa dikatakan ada semacam sistem robotisasi. Manusia “robot“
yakni manusia yang mudah sekali untuk menuruti “perintah“ dari kaum penindas
(dalam hal ini bisa pemerintah, pengajar, dan pihak elit birokrat), mereka
tidak akan menentang sistem yang diciptakan pemerintah, ukuran pendidikan hanya
sebatas kuantitif bukan kualitatif-konstruktif, tidak bisa berpikir kritis akan
realita yang dihadapinya. Mereka tidak berani keluar dalam kungkungan pengetahuan
dan model pendidikan yang sudah ada. Semisal, murid hanya akan mendengarkan
guru bercerita, mencatat dan mengamini bahwa 1+1 adalah 2, tanpa kritis
bertanya kenapa harus 2 atau untuk apa kita belajar berhitung dan sebaginya?.
Sehingga, pendidikan gaya bank dengan mendepositkan pengetahuan atau
mentransfer pengetahuan tersebut hanya akan menumpulkan pikiran kritis akan
realita yang ada, mengubah manusia menjadi “benda“, serta terjadi dehumanisasi
yang mungkin tidak disadari oleh pengajar.
Disorientasi
Pendidikan dan Sistem Pendidikan Baru
Pelbagai realita
ikhwal tingkah pola anak didik yang semakin jauh dari karakter dan jati diri
bangsa indonesia, mensinyalkan bahwasanya pendidikan kita telah gagal dalam menanamkan
karakter serta jati diri bangsa pada anak didik. Selama ini kita tahu,
bahwasanya karakter dan jati diri bangsa terkandung dalam nilai-nilai pancasila
merupakan hal yang sangat penting dalam upaya-upaya membangun peradaban bangsa
khusunya melalaui jalur pendidikan. Akan tetapi, niai-nilai tersebut tidak
dimafhumi secara baik dan semakin tererduksi akibat pola globalisasi,
industrialisasi, dan kapitalis yang menitikberatikan pada persaingan individual
dan membentuk sikap materialistis pada tiap manusia.
Pola-pola tersebut akan membentuk model pendidikan
indonesia seperti industri kapitalis bukan institusi pendidikan yang harusnya
membangun jiwa kemanusian layaknya yang terkandung dalam nilai-nilai pancasila.
Dengan model demikian, maka institusi pendidikan layaknya pasar yang
mengedepankan persaingan, prestise, dan
hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat kuantitatif. Alhasil, anak didik atau
murid tidak bisa untuk berpikir konstruktif, analitik, dan kritis, karena
individu “sudah dibiasakan” untuk dipikirkan tanpa tahu makna aktivitas yang
dilakukan, sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas. Character Building yang salah satunya berkaitan dengan rasa
kemanusiaan, sangat ditentukan dari pola pendidikan yang ada. Boleh dikatakan
bahwa pendidikan gaya bank yang dilakukan selama ini oleh guru-murid telah
mereduksi dan mematikan sedikit demi sedikit rasa kemanusian, kepekaan
lingkungan, dan hasrat untuk melawan penindasan yang sesungguhnya sehingga
kemanusian pada sesama manusia sudah tiada, jika kita berkaca pada kasus
guru-murid yang berkahir pidana serta mudah sekali sesorang (bahkan yang masih
sekolah) melakukan pembunuhan dan perkosaan. Meski sekolah-sekolah atau
institusi pendidikan berdalih telah melakukan pembangunan karakter dengan
mengajarkan melalui pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan, namun
sesungguhnya mereka tidak melakukan hal tersebut. Mereka hanya melakukan
“transfer pengetahuan/teori” bukan transformasi nilai-nilai, budaya, dan
pengetahuan yang sesungguhnya. Kita tidak bisa memahami teori tanpa melakukan
aksi sesungguhnya, dan pengetahuan tidak hanya berasal dari salah satu pihak
saja namun kedua belah pihak (pengajar dan murid).
Bagi freire untuk membangun pendidikan yang ideal
dan benar-benar untuk melawan penindasan adalah dengan merontokan pendidikan
gaya bank tersebut. Untuk itu freire membangun sistem pendidikan baru yaitu “problem-posing education”atau pendidikan
hadap masalah yaitu pendidikan hadap
masalah, yang menempatkan guru dan murid pada posisi yang sama. Tidak ada yang
diajar ataupun yang diajar, guru dan murid bersama-sama melihat realita dunia
yang ada, melakukan observasi dan refleksi bersama. Dengan demikian kedua belah
pihak akan dapat mengembangkan kemampuan dan mengerti secara kritis pada
dirinya serta dunia yang mereka tempati. Dalam pendidikan hadap masalah
instrumen yang dibutuhkan yaitu dialog, komunikasi, solidaritas antar sesama.
Sehingga, akan membangun kesadaran (conscientization)
yang tidak serta merta menghafal dan acuh terhadap realita namun menelah
realita yang ada dengan kritis, konstrustif, dan menggunakan rasa.
Pendidikan
Pembebasan
Pendidikan
tidak hanya didapat dalam pola pengajaran forml yang terinstitusionalkan dalam
lembaga yang dinamakan sekolah. Ketika zaman penjajahan Belanda, pendidikan dalam
bentuk sekolah partikelir banyak sekali bermunculan yang dirintis oleh
pejuang-pejuang kemerdekaan seperti Tan Malaka (SI School), Ki Hajar Dewantara (Taman Siswa), sekolah serikat rakyat
dan lain-lain. Sekolah-sekolah yang tidak formal kala itu dibentuk untuk tujuan
memberi kesempatan semua rakyat agar dapat merasakan pendidikan dan membentuk
manusia merdeka. Karena, sekolah-sekolah formal Belanda saat itu hanya
diperuntungkan bagi kaum ningrat. Menurut Tan Malaka, tujuan pendidikan yaitu pertama, perlunya pendidikn keterampilan
dan ilmu pengetahuan seperti menulis, ilmu bumi, dan bahasa. Kedua, pendidikan bergaul atau
berorganisasi dan berdemokrasi. Bidang ini dimaksudkan untuk mengembangkan
kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri, dan cinta
rakyat misikin. Ketiga, pendidikan
yang berorientasi untuk selalu ke bawah.
Apabila
kita berkaca pada tujuan pendidikan ala Tan Malaka maka pendidikan kita seolah
tanpa arah lagi. Sekolah-sekolah dan institusi pendidikan hanya bertujuan
mencetak manusia yang berorientasi pada kekusaan atau kekayaan semata dan
mengabaikan upaya-upaya anak didik untuk cinta rakyat miskin, intelektual yang
selalu menunduk kebawah. Untuk itu pendidikan indonesia harus direvitalisasi
secara menyeluruh agar paradigma masyarakat ikhwal pendidikan menjadi lebih
baik. Revitalisasi harus dilakukan dari tingkatan mikro hingga makro
pemerintah. Dari penyadaran masyarakat
sampai tataran manajemen organisasi pemerintahan.
Mungkin
hal ini dapat dijadikan refleksi bagi
kita ikhwal tujuan pendidikan indonesia yang sebanranya. Tujuan yang termaktub
dalam UUD 1945 atau kepentingan pemodal
yang berorientasi pada mencetak tenaga-tenaga profesional saja sehingga nuansa
kapitalistik dan formalistik pendidikan begitu kental. Jika kita bisa
mengembalikan tujuan pendidikan yang sesuai dengan amanat UUD 1945 maka, pendidikan
dapat dijadikan alat untuk membangun karakter bangsa terutama rasa kemanusian,
alat pembebasan dari segala bentuk kelaliman dan solidaritas sesama manusia. Tapi,
apakah pemerintah mampu untuk merevitalisasi sektor pendidikan hingga akarnya ?
Refrensi
:
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum
tertindas. 2008. Yogyakarta :LP3ES
Malaka, Tan. 2014. Massa Aksi.
Bandung : Sega Arsy
Tulisan ini sudah pernah dimuat di GubukTulis dan Blog Rayon Pancasila
Komentar
Posting Komentar