Opini : Ber-Islam
Berislam, apa sebenarnya makna
berislam? Ber- dalam KBBI bermakna sesuatu melakukan, adupun Islam, secara akar
kata dalam Bahasa Arab mempunyai artis sebagai ketundukan, pemyerahan diri,
keselamatan, dan kedamaian, sehingga makna berislam dapat kita artikan yakni
melakukan seseuatu atau beraktivas sebagai bentuk ketundukan untuk mencapai
kedamaian, yang mana itu berarti tidak lebih sekedar sebuah ritual belaka. Akan
tetapi, berislam seringkali dikontasikan dengan hal ihwal yang berurusan dengan
Ilahiyah, Tuhan, Allah—hablluminallah saja atau melakukan kegiatan akhirat,
semisal berpuasa, sholat, mengaji, dan lain sebagainya—sebagian masyarakat kita
cenderung demikian. Bagi saya, ini yang menjadi pangkal permasalahan kenapa
masyarakat muslim Indonesia begitu “gila” akan akhirat dan pahala, karena
begitu sempit memaknai Islam yang dianutnya.
Padahal jika kita mengkaji asal muasal Islam turun
bahwa intinya Islam yang dibawa Muhammad merupakan Rahmatan Lil Alamain—rahmat
bagi semua—entah itu bagi islam, kristen, Yahudi atau dari ras manapun. Islam
tidak hanya mengajarkan bagaimana sholat lima waktu, puasa, atau mengaji yang
benar namun, Islam turun sekaligus menjadi titik damai bagi bangsa yang
berseteru (piagam madinah), pembebesan perbudakan, penghargaan terhadap alam, dan
memandang manusia sebagai manusia—nilai kemanusian yang dipapankan Islam begitu
lengkap—namun, saya kecewa dengan kebanyakan masyarakat kita khususnya muslim
yang “gila” akan akhirat dan pahala, lantas lupa dengan ilusi kapitalis yang
dibalut dengan agama. Menurut karl marx (Ritzer 2014:117), kesukaran agamis
pada saat yang sama adalah ungkapan kesukaran yang nyata dan juga protes
terhadap kesukaran yang nyata. Agama adalah desahan mahluk yang tertindas, hati
dari dunia yang tidak punya hati, sebagaimana agama adalah semangat bagi
kondisi-kondisi yang tidak punya semangat. Agama adalah candu masyarakat. Marx
tidak pernah menyisingkan agama yang dianut, namun ia hanya mengesampingkan
ilusi-ilusi atas nama agama.
Agama melukiskan ketidakadilan kapitalisme sebagai
suatu ujian bagi orang-orang yang setia dan menyisihkan setiap perubahan
revolusioner ke dalam kehidupan akhirat. Sering kita melihat dan mendengar
kajian dari para Ustad atau kiai yang menyatakan bahwa kemiskinan, kemlaratan,
dan kepapahan kita adalah ujian dari Tuhan semata, berserah diri saja dan
memohon ampun pada Tuhan, seolah Tuhan adalah entitas atau zat yang “jahat”
yang sedang menghardik kita dengan coba dunia tanpa penghabisan. Padahal,
segala kesukaran dan penindasan bukan dihasilkan semata-mata dari agama namun
juga sistem kapitalis yang turut mengkonstruk penindasan tersebut—penindasan
dan kesulitan mereka dibalut dengan suatu agamis, yang kemudian ditelan
mentah-mentah oleh para masyarakat—tiap hari mereka berdoa, berlutut agar Tuhan
menghentikan “cobaan” ini. Mereka tidak sadar bahwa kapitalisme turut andil
didalamnya.
Sehingga, perilaku kita dalam keseharian berlandasakan
ingin mendapat pahala, macama-macam kesenangan akhirat atau ingin dijauhkan
dari segala penindasan dengan memohon pada Tuhan saja. Kita mengesampingkan
nilai-nilai Islam yang lain, yakni peduli dengan alam dan manusi tanpa
memandang apapun. Jika berislam sesempit “pahala”, surga, dan segala tetek bengek nya maka penindasan akan
tetap berlangsung. Kasus kekerasan, penjarahan, eksploitasi dengan ilusi
keagamaan terjadi atas dasar pemahaman sempit tersebut, semisal peran ulama
atau pemuka agama yang mengamini atau merestui peng-ekspolitasian lahan atau
lingkungan, kasus Tumpang Pitu bisa jadi cerminan atas hal ini, yang mana peran
ulama begitu kuat atas tambang tersebut. Hampir sebagian masyarakat kita
terdiam, tertunduk, dan tersumbat telinganya akan kasus tersebut, tidak mau
tahu dan masa bodoh, menanggap kejadian itu tidak berakibat apapun pada
kehidupannya.
Apabila kita berIslam dengan mengedapankan
HablluminaAllah, Habbluminans, dan Habbluminallam mungkin kita bisa menjadi
umat Islam yang kuat dalam mengahadapi segala penindasan dan kesukaran. Saat
ini saya katakan, masyarakat Islam kita tergerak jika hanya berkaitan dengn
masalah ayat dan penodaan agama saja. Seketika menjelma menjadi malaikat baik
yang menebar kebaikan. Namun, bagi saya kemanusian tidak memandang agama,
gender, atua ras manapun atau kemanusian tidak perlu dibalut oleh sesuatu yang
bersifat agamis--kemanusian untuk semua--perlawanan untuk kemanusian dan untuk kapitalis penghisap hak. Jadi, tidak ada lagi tebang pilih
kemanusian, tebang pilih mana yang layak kita prioritaskan. Ingat palestine pun
juga harus ingat papua! Simplenya gitu.
Komentar
Posting Komentar