Buku bagus : Ekonomi Politik Kolonialisme
Kali ini, saya tidak lagi membuat puisi-puisi
kegundahan hati atau puisi tentang bejatnya negeri ini. Namun, saya akan
mengulas buku dari mbak Hesti Hasanah tentang ekonomi politik kolonialisme.
Industri
gula menjadi salah satu industri yang paling menguntungkan dan penting ketika
zaman kolonial Belanda. Banyak sekali pabrik-pabrik gula yang berdiri ketika
itu khususnya di pulau Jawa, salah satu pabrik gula yang bisa dikatakan besar
dan menjadi sumber keuntungan melimpah oleh Belanda yakni Pabrik Gula milik
Mangkunegaran.
Mangkunegaraan
adalah wilayah kekuasaan yang berbentuk praja/kerajaan kecil dan kadipaten
besar. Sebelumnya, Mangkunegaran merupakan bagian dari kasunanan Surakarta
kemudian menjadi kerajaan mandiri yang patut disegani karena memiliki
Legiun/tentara. Dampak politik kemandirian Mangkunegaran menjadi keuntungan
bagi pemerintah Belanda untuk mengimbangi kekuatan Susuhunan (Kasunan Surakarta).
Pembangunan Industri gula mangkunegaran dimulai ketika kepemimpinan
Mangkunegaran IV (1811-1881). Latar belakang dari pembangunan pabrik gula yakni
gula menjadi produk ekspor yang menguntungkan, tanaman tebu sudah biasa
dibudidayakan di Surakarta, sumber pajak dan persewaan tidak menyukupi
kebutuhan mangkunegaraan, serta sebagai legitimasi bahwa trah Mangkunegaran lebih
unggul daripada yang lain. Adanya industri pabrik gula tersebut menjadi sebuah
keunikan dari praja Mangkunegaran karena biasanya berdagang itu oleh orang Jawa
apalagi seorang Raja dianggap sebagai pekerjaan yang hina karena hanya
memikirkan untung dan rugi. Pabrik gula Mangkunegaran bernama Colomadu,
kemudian berkembang pesat dan membuka pabrik gula lagi di daerah Karanganyar
dengan nama Tasikmadu.
Perkembangan
gula di Mangkunegaran makin pesat hingga tahun 1900-an. Namun, pada tahun 1929
terjadi kemunduran akibat produksi gula bit di Eropa dan wabah sereh yang menjangkiti
tanaman tebu ditambah ketidacakapan Mangkunegaran V dan VI dalam mengelola pabrik.
Akibatnya produksi gula di mangkunegaraan merosot dan mengalami kerugian, pada
titik inilah intervensi Belanda dimulai. Belanda masuk pada birokrasi baik
administrasi atau keuangan Mangkunegaraan, campur tangan Belanda pada pabrik
merupakan langkah awal untuk mengakuisisi pabrik gula sebagai milik Hindia
Belanda dengan dalih penyelematan pabrik dan penerapan politik etis. Kebijakan
Hindia Belanda untuk penyelamatan pabrik yakni dengan mengalih tangankan pabrik
seluruhnya ke tangan pemerintah Hindia Belanda dengan dimpimpin Residen dan
membentuk Komisi dana Milik Mangkunegaraan yang dipimpin superintendent (orang Belanda yang mengurus keuangan Mangkunegraan
dalam arti sempit dan luas). Komisi ini nantinya akan menjadi alat untuk
menguasai pabrik gula Mangkunegaraan seluruhnya meski pabrik gula telah
diserahkan kembali ke trah Mangkunegaran. Beberapa kebijakan yang diterapkan
Belanda berhasil mengembalikan kondisi pabrik gula milik Mangkunegaran menjadi baik,
terbukti dengan adanya peningkatan produksi dan keuntungan pabrik.
Reorganisasi
agraria dan desa dilakukan oleh Belanda sebagai salah satu turunan implementasi
politik etis (edukasi, imigrasi dan irigasi). Reorganisasi ini menjadi titik yang
paling menentukan atas perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan kekuasaan di lingkungan
Mangkunegaran serta penguasaan industri gula oleh Belanda. Pelaksanaan kebijakan
reorganisasi desa dilakukan dengan beberapa hal yaitu pertama, pada tahun
1900-an belanda mengubah struktur pemerintahan yang semula dipimpin oleh demang atau bekel (pembesar desa) dan
berada di bawah kekuasaan panggedening (penjaga keamanan) menjadi dipimpin oleh
seorang kepala desa dengan dibantu oleh bawahannya yaitu carik (juru ketik), moden
(pegawai agama desa), kabayan
(penjaga keamanan desa), dan kamituwa.
Kedua, mengubah status kepemilikan tanah desa berdasar aturan pertanahan
pemerintah kolonial Belanda, yang mana tanah-tanah liar tidak termasuk tanah
komunal desa. Ketiga, Belanda melarang perempuan menjabat menjadi seorang
pemimpin desa, padahal sebelumnya perempuan berhak menjadi bekel/demang. Penetrasi birokrasi
kolonolial di pedesaan Mangkunegaraan menyebabkan desa mangkungaraan semakin
rusak, akar budayanya sedikit demi sedikit tercerabut dari tanahnya. Akhirnya,
penetrasi kolonial Belanda dalam sistem pemerinatahan desa menjadikan praja Mangkunegaran
dapat dikuasi sepenuhnya. Dalam kacamata politik ekonomi reorganisasi desa oleh
Belanda dimaksudkan untuk mengatasi kealpaan individu dalam pasar—mengatur
individu/petani dalam pemerinatahan desa agar keseimbangan pasar tetap terjaga—Belanda
menganggap pasar juga ditentukan oleh faktor sosial.
Terkait dengan pelaksanaan kebijakan agraria,
terjadi perubahan atas penguasaan tanah dan perubahan ekonomi yang siginifikan bagi
rakyat. Semula tanah merupakan milk dari raja, yang mana hanya disewakan atau
menarik pajak/hasil tanaman dari tanah tersebut. Namun, sejak reorganisasi desa
tahun 1912 tanah raja bertranformasi menjadi tanah komunal desa, akan tetapi
dalam beberapa hal Raja masih berhak memilki tanah tersebut misal jika raja
membutuhkan tanah tersebut untuk kepentingan umum. Reorganisais agraria menurut
penulis hanya membuka jalan baru terhadap eksplotasi petani. Hal ini diawali dengan
upaya penjaminan indvidu atas tanah desa, namun dalam implememtasinya terjadi
konsentrasi tanah petani pada elit-elit desa yang jatuh pada perusahaan—petani dengan
mudah memindahtangkan tanahnya pada perusahaan karena lilitan pajak dan
tergiurnya dengan uang tunai yang didapat. Pada akhirnya, reorgansasi agraria hanya
menjadikan petani menjadi buruh upahan pabrik karena tidak memilki tanah. Akibat
dari sistem persewaan atau penjualan tanah pada perusahan mengakibatkan petani
menjadi buruh upahan dengan berbagai ketidakadilan dari upah yang tidak layak
hingga jam kerja yang melebihi, ini hanya akan menimbukan pemiskinan rakyat
saja. Dari kacamata politik reorganisasi agraria yang dilakuakan Belanda bukan murni
bertujuan untuk pelaksanaan politik etis, namun pencarian keuntungan lewat
tanah dan investasi yang akan meraka dapat. Dan terbukti dengan adanya
reorganisasi desa dan agraria tersebut keuntungan yang didapat pemerintah
kolonial makin tinggi.
Kesuksesan pemerintah Belanda melakukan reorganisasi
tidak terlepas dari peran bekel,
meskipun pada tahun 1917 bekel tidak lagi dijadikan pemimpin desa, namun
perananannya dalam penguasaan tanah dan petani sangat berpengaruh. Bekel tidak lagi disebut sebagai
pemimpin desa namun lebih pada penghubung penguasa desa dan petani—kaki tangan
perusahaan. Sebutan kaki tangan perusahaan bukan tanpa alasan, karena bekel
memiliki kemampuan untuk menyediakan pekerja perusahaan. Akibat kecakapannya
tersebut, Belanda pun menggunakan bekel sebagai kaki tangannya untuk menjaga
keberlangungan eksplotasi tenaga kerja dan upah yang rendah. Ini menunjukan
bahwa institus pemerintah dapat berkerjasama dengan rakyat untuk menjaga status quo asalkan saling mengguntungkan
kedua belah pihak. Bekel memperoleh
kekayaan dan pemerintah kolonial dapat mengatur industri gula di Jawa dan Mangkunegaran
yang mendatangkan keuntungan berlimpah.
Teori Keynesian digunakan sebagai pisau analisis
keadaan ekonomi politik Mangkunegaran, karena adanya campur tangan pemerintah dan
anggapan pasar tidak dapat meregulasi diri jika mengabaikan kealpaan individu
didalamnya. Implikasi teori keynesian dapat dilihat dari campur tangan Belanda
pada urusan wilayah praja Mangkunegaran baik itu tataran desa hingga
masyarakatnya. Penetrasi Belanda dilakukan akibat ketidakmampuan Mangkunegaran
untuk kembali ke pasar pabrik gula, sehingga Belanda sebagai penguasa kolonial
berhak dan merasa mampu untuk menangani masalah tersebut. Hingga pada akhinya
menurut penulis Mangkunegaran tersingkir dalam kegiatan ekonomi kala itu dan
menjadikan praja Mangkunegaran sebagai state
capitalism karena sepenuhnya
dikendalikan oleh penguasa kolonial.
Buku ini sangat menarik untuk dijadikan salah satu
literatur dalam melihat bagaimana perkembangan ekonomi politik kolonial, selain
itu dapat dijadikan acuan untuk menjadi dasar untuk kita melihat persoalan
agraria saat ini. Sebab dalam buku ini, dijelaskan perubahan desa dan impilkasi
tethadap penguasaan tanah yang akhirnya menjadikan kerajaan Mangkunegaran
sebagai state capitalism. Tidak hanya
masalah ekonomi politik saja, namun aspek budaya juga dapat kita temukan
di sini, bahwa sebelum adanya reorganisasi tersebut masyarakat memiliki akar
budaya yang kuat.
Komentar
Posting Komentar