Short AU: Bukan Minke dan Annelies
Aku lupa kapan pertama kali kita bertemu, dalam
sebuah ruang dan waktu yang memang sudah ditakdirkan oleh sang Kuasa. Aku hanya
mengingat ketika seorang teman menyebut namamu dalam bingkai kekaguman akan
tulisanmu. Dia menyebutmu sebagai guru dengan tindak tandukmu yang menurutnya
begitu luar biasa.
“Aku
suka si Andy, dia mengajariku bagaimana cara membaca yang benar dan kau tahu Andy
tidak pernah mengejekku atau yang lain perihal tulisanku, pendapatku, atau
bicaraku, dia selalu merendah,” jelas Fauzi dengan semangatnya.
Aku
yang belum tahu tentangmu pun hanya bisa menganguk dan sesekali menjawab “oh
apakah begitu zi”. Jawab ku singkat dengan memasang mimik muka yang terlihat
antusias, bibirku tersenyum.
Dan sejak saat itu aku mulai penasaran dan mencari
tahu tentangmu. Aku diam-diam membuka akun sosialmu, membacai tiap tulisan yang
kamu post di salah satu website pribadimu, dan sedikit-sedikit mencuri
tentangmu dari salah satu teman yang dekat dengamu.
Waktu berjalan satu tahun, aku masih tetap
menggumimu dari kejauhan, dalam sebuah tembok yang membayangi aku untuk
mendekatmu, gengsi.
****
Aku pergi ngopi
bersama teman-teman kelas untuk
sekedar refreshing dan membantu mengerjakan tugas mereka. Mereka terdiri dari
empat perempuan dan satu lelaki, yang mana semuanya begitu suka untuk rumpi. Barang 15 menit kami sampai di
tempat ngopi di sekitar yang tidak jauh dari kostan. Tempat kopi itu berderet
di ruko-ruko yang penuh dengan pejajah kopi dan makanan. Bercat putih kombinasi
coklat dan bergaya klasik, banyak kawula muda yang menghabiskan malam disitu
untuk mengerjakan tugasa atau hanya sekedar supaya mendapat wifi gratis. Aku
memesan kopi susu manis dan empat temanku memesan milk shake, mereka tidak
begitu menyukai kopi.
Percakapan dimulai, obrol sana sini, curhat kesana
kemari, hingga tugas pun sedikit terbengkalai. Ditengah-tengah tugas yang
menggeliat belum selesai. Salah satu temanku nyletuk
“It, gimana kabar si Andy, sudah kamu chat belum”,
tanya temanku dengan nada menggoda. Seketika aku tersergah dari bayang tugas
yang ada didepan mata.
“Duh, kenapa si tanya Andy, aku kan tidak
mengenalnya dengan baik, aku hanya sekedar tahu namanya saja”, jawab ku sedikit
malu dan bingung. Aku kemudian mengalihkan pembicaraan ke tugas kelompok kita
yang belum selesai. Namun, temanku ini masih bersikeras untuk menggoda aku
untuk berani mengirim pesan ke Andy, lelaki yang aku kagumi.
“kalau suka, kirim pesan saja It, kenapa harus malu.
Tanya sesuatu padanya,” saran temenku dengan raut muka menyakinkan. Alisnya terangkat
keatas dengan kacamata yang terlalu besar. Aku hanya menganguk dan mengiyakan
saja. Tiba-tiba tubuhku terasa dingin. Entah karena angin malam atau jantung yang rasanya mau copot perkara saran temanku itu.
Setelah sampai di kost, aku berpikir barang setengah
jam, untuk mengirim pesan atau tidak ke kamu. Aku bingung dalam kalut malam,
yang makin menusukan udaranya dengan rasa rindu yang tak tersampaikan. Gawai
aku putar-putar seperti hendak bermain gasing, menandakan aku bingung, apa yang
harus aku lakukan. Tembok itu masih tegak berdiri kokoh. Namun, sekitaka
runtuh, akhirnya aku mengirim pesan padamu Berbagai macam kalimat aku coba
ketik dan aku rangkai.
“An, kamu punya buku Haruki Murakami”, ketik ku dan
segera aku kirim pada mu. Setelah lama
sekali, Kamu membalas pesanku. Kegirangang dan rasa gugup tak bisa aku
sembunyikan. Intinya, kamu memilki buku itu dan menawarkan untuk meminjamkannya
padaku. Aku membalasnya dengan cepat, namun sampai detik ini kamu tak pernah
membalas pesanku lagi.
Tak ada yang bisa aku lakukan. Pikirku muskil sekali
jika aku dan kamu bisa berteman dengan baik. Kali ini, aku hanya berharap kita
bisa menjadi teman baik, berbincang di warung kopi atau sekedar diskusi kesana
kemari. Aku sungguh menganggumi dalam tiap putaran waktu yang kian cepat. Kita bertemu
dalam sebuah kehampaan ruang, yang seolah kita tak pernah mengenal. Rasa ingin
memilki sudah pudar, tergantikan sebuah rasa keihlasan yang mesti aku pikul
untuk menguatkan hati ini agar tidak remuk untuk kesekian kalinya.
Karenamu, aku belajar menulis, karenamu aku belajar
membaca, karenamu aku belajar berpuisi, karenamu aku belajar menjadi rendah
hati, karenamu aku belajar menjadi manusia. Terima kasih guruku. Aku tak kan lelah dan berhenti berusaha mencuri
ilmu-ilmumu. Aku tidak mencintaimu layaknya Annelies pada Minke. Alasannya hanya
satu, aku tidak mengerti arti cinta itu, tolong ajari aku.
Seperti air yang sulit untuk digengam tapi begitu
memberi manfaat
-The End
Komentar
Posting Komentar