Ingatan Awal Dekade 2020



Awal dekade tahun ini mungkin menjadi hal yang tidak menyengkan bagi sebagian masyarakat di seluruh Indonesia. Pasalnya bencana banjir dan tanah longsor terjadi di beberapa daerah khususnya yang ramai diberitakan yaitu wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (Jabodetabek). Banjir membuat orang-orang berbondong dan mencari tempat aman untuk mengungsi. Tidak hanya rumah yang tenggelam namun hotel dan apartemen mewah pun ikut direndam banjir seperti yang diberitakan oleh salah satu stasiun televisi. Diketahui banjir tahun ini menjadi yang terparah dan terbesar setelah tahun 2013.
Sebagai netijen yang aktif sekali di jagat pertwitteran, saya memantau situasi ini melalui twit dan hastag yang muncul. Entah kenapa setiap ada peristiwa yang lagi hangat dibicarakan, netijen berlagak menjadi “pakar” segala masalah. Misalnya saja waktu pilpres kemarin, tiap orang seolah menjadi pengamat politik, lalu soal fenomena platform kitabisa.com yang dianggap menyeleweng dari fitrah awalnya (gara-gara ada anak dari kalangan menengah atas yang pingin S2 di harvard namun minta bantuan melalu platform tersebut). Tentu saja pro dan kontra terjadi di kalangan netijen. Berpendapat dalam ruang publik memang tak ada masalah, yang memuakan adalah sikap beberapa orang yang ngotot kalau argumennya itu benar dan tak sudi menerima pandangan lain. Barangkali itu disebabkan jari kita yang lebih cepat ketimbang berpikiranya otak.
Memang tak salah dengan argumen seperti itu, tapi jika hal itu menjadi satu-satunya penyebab banjir saya tidak setuju. Tidak hanya itu, kebanyakan netijen berpendapat bahwa di saat banjir melanda tidak usah menyalahkan pemerintah baik itu daerah maupun pusat. Tidak usah menyangkutpautkan dengan kebijakan atau program yang dibuat oleh pemerintah. Bahwa banjir adalah murni kesalahan perilaku masyarakat dan tak ada kaitannya dengan negara. 
Tetapi bukankah salah satu fungsi negara yakni mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya? Apakah masyarakat salah menanyakan berjalan atau tidaknya kebijakan pemerintah? Padahal kalau dipikir-pikir negara punya kuasa dan andil banyak dalam menentukan bagaimana kita hidup.
Sekolah selalu mengingatkan bahwa buang sampah sembarangan menjadi satu-satunya penyebab banjir. Tapi ia juga lupa membahas bahwa pembangunan gedung, apartemen mewah dan perumahan secara “brutal” itu juga yang membawa banjir. Penyerapan berlebih air tanah untuk kebutuhan hotel serta kesalahan tata ruang wilayah kota juga menjadi penyebabnya. Bencana yang kita alami ini terjadi secara terstruktur dan massif karena kebijakan para pemangku kekuasaan. Bahwa bencana alam yang kita hadapai saat ini tak sesedeharna akibat buang sampah sembarangan. Juga bukan akibat kewajaran musim hujan telah tiba. Bukan pula karena Tuhan marah akibat perayaan tahun baru lalu. Hahaha.
Saya jadi ingat buku Fredd Magdoff dan John Belamy Foster berjudul Lingkungan Hidup dan Kapitalisme. Mereka menyebut bukunya sebagai pengantar untuk menjelaskan kaitan perilaku manusia dengan krisis ekologi saat ini dalam kerangka kerja sistem kapitalisme. Bahwa sebagian besar persoalan darurat lingkungan hidup yang kita hadapi saat ini disebabkan atau diperparah oleh tata kerja sistem ekonomi kapitalisme. Yang mana jika sistem tersebut tidak diubah akan menyebabkan kepunahan lebih cepat bagi umat manusia. Berbeda dengan kepunuhan massal yang terjadi sekitar 71 juta tahun lalu disebabkan oleh penurunan ozon sehingga menyebabkan dinosaurus punah. Kepunahan saat ini atau disebut para ahli “kepunahan keenam” diakibatkan oleh makhluk hidup itu sendiri: manusia.
Magdoff dan Foster mengkritik cara kerja kapitalisme yang begitu eksploitatif salah satunya pada lingkungan. Aspek kunci sistem kapitalisme dalam kaitanya dengan keberlanjutan lingkungan ada dua yaitu motivasi kapital melaui pengejaran laba/akumulasi tanpa akhir dan persaiangan antar perusahaan yang mendorong untuk perluasan pangsa pasar serta meningkatkan penjualan. Artinya agar tetap tumbuh dan hidup, ia harus mencari wilayah-wilayah yang bisa dimanfaatkan untuk akumulasi laba. Sehingga tidak heran jika banyak sekali konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan. Kapitalis bertindak seolah kemampuan alam untuk berproduksi adalah tak terbatas. Jika pun mereka sadar akan realitas tentang keterbatas lingkungan dalam berproduksi, hal itu hanya akan membuat mereka mempercepat laju eksplotasi sumber daya tertentu yang akan diolah secapat mungkin. Lalu kapital akan berpindah ke area sumber daya lain. Dengan tiap-tiap kapitalis secara indvidual mengejar kepentingan diri sendiri untuk membukukan laba dan mengakumulasi modal, maka keputusan-keputusan yang diambil itu akan secara kolektif mencederai masyarakat.
Sayangnya, negara dengan kekuasaanya turut menyokong pencapolokan hak hidup masyarakat. Negara memuja secara berlebihan pada angka-angka pertumbuhan, maka tak heran Gus Speth (dalam jurnal “toward a new economy and a new politic solution) menyebutnya sebagai agama sekuler yang dianut sebagain dunia. Apalagi Presiden Jokowi hendak membuat kebijakan untuk menghapus AMDAL dan IMB untuk memudahkan jalannya investasi. Artinya pendirian perusahan di suatu wilayah akan mudah tanpa memikirkan bagaimana dampaknya pada lingkungan. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana “ilusi” angka kemakmuran nan kesehateraan meningkat dalam laporan tahunan ekonomi. Membahayakan atau tidak urusan belakang. Lingkungan terus digenjot untuk memenuhi produksi manusia. Hubungan alam dan manusia hanya sebatas tercukupi atau tidak, termanfaatkan atau tidak, dapat atau tidak didaur ulang. Dengan demikian, kurang tepat jika menganggap negara dengan seabrek kebijaknya tidak ada kaitannya dengan musibah alam atau banjir ini. Karena ia yang memutuskan segala hal ihwal yang berkaitan dengan pembangunan, pengelolahan dan pemanfaatn sumber daya.

Skwngur
Lamongan, 8 Januari 2020



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Emak: Catatan Rindu

Takut

Ara, aku bertanya.