Amina Wahdud Muhsin: Menyoal Persepsi Wanita dalam al-Quran
Barangkali sempat
terpikirkan oleh sebagaian orang, bahwa menjadi wanita itu tak bebas atau
bahkan sebuah musibah. Kemusibahan ini misalnya mengingatkan pada perkataan
seorang filsuf, Plato, bahwa dirinya bersyukur karena tak terlahir menjadi
seorang wanita. Pada zaman jahiliyah, bayi wanita dikubur karena dianggap
menjadi sebuah aib. Bahkan dalam sebuah hadist shahih Bukhori ada hadist yang menyamakan
wanita, keledai dan anjing sebagai pembatal sholat. Artinya seorang wanita
dianggap akan merusak hubungan simbolis dengan Yang Ilahi, hanya karena
kehadirannya. Celakanya dalam shahih Bukhori tidak dimasukan pula koreksi yang
diberikan Aisyah (Istri Rasullullah) atas pokok bahasan hadist tersebut.
Sehingga sampai saat ini hadist itu masih digunakan oleh kelompok-kelompok
konservatif untuk merendahkan hakikat kewanitaan.
Selain kehadirnnya yang
disangsikan, menyamakan wanita dengan ke-benda-an dianggap sebuah kelumrahan misalnya
wanita tidak berjilbab sama dengan permen tak tertutup yang akan dikerubuti
semut (sumber fitnah dan kejahatan). Juga anggapan bahwa wanita adalah biang
keladi manusia diturunkan Allah dari surga. Candaan tentang wanita selalu benar
terbukti tidak valid karena kenyataanya ia diposisikan selalu salah di manapun
tempatnya, berapapun waktunya. Mereka yang selalu mengumbar ayat Quran dengan
dalih memuliakan wanita pada kenyatannya, tanpa disadari sedang merampas
sebagian hak wanita untuk menjadi individu merdeka, menghilangkan separuh
bagian dirinya menjadi manusia yang setara.
Ditambah dukungan
tafsir-tafsir klise yang menyatakan bahwa wanita (Hawa) diciptakan dari tulang
rusuk pria (Adam) makin menguatkan prasangka ini; bahwa ia, wanita, memang
inferior daripada pria. Adalah penting untuk menekankan permasalahan bagaimana
persepsi mengenai wanita memengaruhi penafsiran posisi wanita di dalam Quran.
Bahwa saat ini, kehidupan wanita sekarang, masih ditentukan oleh tafsir-tafsir
Quran yang sepenuhnya di dominasi oleh para mufassir pria. Yang mana tafsir
tersebut cenderung meniadakan ke-wanita-an dan berpusat pada pria semata.
Anggapan ini secara
praktis berpengaruh pada tafsir tentang saksi, poligami dan pembagian harta
waris atau tak bolehnya wanita menjadi imam. Padahal beberapa ulama kontemporer
menolak anggapan ini, satu di antaranya adalah Amina Wadud Muhisin. Pemikir
feminis keturunan Afrika-Amerika ini melakukan bantahan terhadap tafsir-tafsir agama
tentang wanita yang telah mapan, dengan mengkategorikan metode penafsiran Quran
ihwal wanita menjadi tiga yaitu tradisional, atomistik dan holistik.
Metode tradisional
hanya memberikan interpretasi keseluruhan isi al-Quran dengan pokok tertentu
sesuai kehendak mufassirnya. Bahayanya, tafsir ini hanya ditulis oleh pria,
berdasarkan pengalamannya tanpa memasukan wanita di dalamnya. Lalu metode
atomistik, yang menafsirakan ayat Quran secara ayat per ayat tanpa membahas
hubungan al-Quran dengan keseluruahan tema secara tematis. Metode kedua ini
menimbulkan miskonsepsi di kalangan pemikir muslim modern rasionalis bahwa
al-Quran membenarkan ketidakadilan bagi wanita.
Metode kedua ini,
menurut Wadud, harus diredam karena akan menghambat jalan pembebasan wanita
melalui ideologi dan teologi Islam,
al-Quran. Ia lebih sepakat untuk menempuh penafsiran secara holistik, yakni interpretasi
yang mempertimbangkan kembali seluruh penasfiran dengan mengkaitkannya dengan
persoalan sosial, moral, ekonomi dan politik modern.Secara khusus, Wadud menyebut
metodologinya dengan metode hermenutik.
Model hermenutik adalah
salah satu bentuk metode penafsiran kitab suci, yang di dalam pengoperasiannya selalu
berhubungan dengan tiga aspek dari teks tersebut yakni konteks (konteks ayat
tersebut diwahyuhkan), komposisi (tata bahasa) dan keseluruhan teks. Metode ini
merupakan hasil apropriasi dari metode penafsiran al-Quran yang diajukan oleh
Fazlur Rahman. Bahwa semua ayat al-Quran diwahyukan pada waktu tertentu dalam
sejarah, tetapi pesan al-Quran tidak dibatasi oleh waktu atau keadaan tertentu.
Untuk itu, pembaca atau penfisir harus paham impilikasi yang tersirat dari
pernyataan al-Quran. Dengan metode hermenutik ini, Amina Wadud Muhsin menemukan
beberapa perspektif yang kurang terbaca oleh mereka yang masih menganggap bahwa
wanita adalah mahluk inferior maka hak-nya pun tak seutuh pria.
Pertama,
al-Quran tidak pernah menggariskan peran wanita dan pria secara jelas. Di
banyak kajian wanita dianggap utama hanya karena kemampuan biologisnya; hamil
dan melahirkan. Tanpanya mana mungkin keberlanjutan umat manusia dapat terjadi.
Oleh karena itu, segala kemampuannya diarahkan untuk menjadi ibu yang baik—dapat
mengurus anak dan rumah tangga dengan cermat—tidak heran, dalam masyarakat
kita, secerdas apapun seorang wanita, setekad kuatnya ia ingin belajar maka urusan
domestik tidak bisa tidak dilepaskan darinya. Seolah kurang pas jika tidak
memonopolikan urusan rumah tangga pada wanita.
Wadud berpendapat bahwa al-Quran tidak pernah membatasi
wanita dari segi sebagai ke-ibu-an, namun memberikan penghormatan dan simpati
pada wanita sebagai mahluk yang mampu bereproduksi sebagaimana tercermin dalam
QS An-Nisa’:1 tentang hukum keluarga. Melalui ayat itu pun secara eksplisit ia
menerangkan fungsi laki-laki untuk mencapai keseimbangan dalam hubungan umat
manusia. Al-Quran telah menjelaskan bahwa yang membedakan antara wanita dan
pria yaitu amal shaleh semata (QS Al-Baqarah: 286). Wadud menilai al-Quran tak
pernah membedakan jenis kelamin karena al-Quran paling sering menggunakan kata nafs (diri)—mengandung makna netral
bukan untuk pria atau wanita saja—hanya untuk
menunjukan penciptaan manusia.
Oleh karena itu, peran
ibu mutlak milik wanita adalah tidak benar, pun seorang ayah hanya bertugas untuk
mencari nafkah juga tidak benar. Feminitas dan maskulinitas memang tidak pernah
disinggung dalam pembahasan Quran, namun ia merupakan karakteristik terbatas
bagi pria dan wanita secara kultural untuk menentukan tiap jenis kelamin dapat
berfungsi dalam masyarakat. Hanya karena fungsi biologis wanita yang dapat
melahirkan lantas menganggap beban mengurus anak memang kodratnya. Padahal
Quran tak pernah membagi peran yang jelas antara pria dan wanita. Kultur di
masyarakatlah yang membentuknya. Ia hanya membedakan keduanya berdasar
ketaqwaannya semata. Memonopolikan urusan rumah tangga terkhususnya mengurus
anak adalah kodrat wanita adalah salah satu bentuk dampak penafsiran al-Quran
yang men centris.
Kedua,
reformasi sosial untuk wanita Reformasi sosial yang disuarakan al-Quran terjadi
saat periode penurunan ayat di Madinah. Sejumlah reformasi sosial yang
diperkenalkan berhubungan erat dengan praktek-praktek yang ada dalam masyarakat
arab abad ke 7. Hal Juga menarik untuk dicatat bahwa reformasi ini sangat
menguntungkan para wanita meski belum terlembagakan atau terjalankan dengan
baik. Amina membawa reformasi-reformasi sosial ke dalam pengamatan modern. Misalnya
pembahasan tentang pria pemimpin bagi (qawwamuna’
ala) wanita yang tak pernah menyoal dari sisi wanita. Bisanya dimentahkan
menjadi pria pengelola wanita untuk itu posisinya lebih tinggi. Padahal qawwamuna’ ala berlaku jika ada dua hal
yang menyertai yaitu kesanggupan pria memimpin wanita dan jika mereka mendukung
wanita melalu hartanya. Apabila pria merasa pemipin bagi wanita, semestinya ia mampu
menyediakan apa yang dibutuhkan wanita: perlindungan fisik, psikis dan dukungan
material bukan malah berlagak menjadi pemimpin tapi mengabaikan kewajibanya.
Tafsir kebanyakan ihwal
wanita yang telah mengakar kuat di masyarakat perlu senantiasa dikaji ulang,
bukan dijadikan interpretasi tunggal sebagai pandangan hidup. Penafsiran memang
tidak sepenuhnya objektif, tentu menggabungkan akan penilaian pribadi mufassir.
Juga tidak ada tafsiran yang memutuskan atau bersifat mutlak, ia akan bersifat
relatif. Al-Quran yang berlaku secara universal harus terus dipahami sesuai
konteks zaman jika tidak ia mungkin menjadi buku sejarah yang tebal. Masyarakat
akan terus berkembang, kehidupan akan terus berdinamis tapi satu hal penting
yakni kemampuan al-Quran dalam menembus waktu dan dimensi harus terus disoal
agar bisa terus menjawab permasalahan umat.
Al-Quran tidak diturunkan jika tidak untuk mencipatkan keadilan dan kesetaraan bagi sesama umat manusia baik pria maupun wanita. Jika hari ini, perendahan terhadap wanita maupun pria masih terjadi, kita menjadi masyarakat yang patut dikasihani.
*Tulisan sudah pernah dimuat di mubaadalahnews.com https://mubaadalahnews.com/kolom/detail_publik/2020-06-22/942
Komentar
Posting Komentar