Puasa dan Dosa Lingkungan

 

            Bulan Ramdhan atau bulan puasa telah tiba. Bulan yang dinantikan oleh hampir semua umat Muslim di seluruh dunia. Ia menjadi bulan istimewa karena Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi tiap amal kebajikan. Begitu istimewanya bulan ini, disebutkan dalam kitab al Ithafu Ahlu al Islam bi Khususiyyati Syiam karya Ibnu Hajar al- Haitami al Makki, sampai-sampai Allah memerintahkan Khamalatul arsy untuk berhenti bertasbih dan memintakan ampunan bagi umat Nabi Muhammad dan orang-orang mukmin.

            Puasa adalah salah satu ibadah wajib yang syarat dan ketentunya sudah diatur. Makna puasa juga berarti menahan dari segala godaan hawa nafsu. Ia memiliki dampak yang positif salah satunya lingkungan, sebab umat islam diharapkan dapat menurunkan tingkat konsumsi makanan dan minuman menjadi signifikan. Perkiraannya kurang lebih begini, manusia tidak makan dan minum selama kurang lebih 14 jam. Kalau makanan berkurang maka volume limbah makanan juga akan berkurang. Klise tapi fakta di lapangan malah sebaliknya.

 Alih-alih berkurang, data yang dimuat oleh The Economist Intelligence Unit mencatat bahwa Indonesia menjadi negara paling ‘nyampah’ ke-dua sedunia setelah Arab Saudi terutama terhadap makanan. Sampah tersebut kebanyakan gabungan dari sampah sisa dan kemasan makanan. Pada saat bulan ramadhan sampah tersebut meningkat volume sampah makanan warga meningkat menjadi 20% atau sebanyak 500 ton sampah makanan (Detik dan Tempo.com 5/19), Hal itu dikarenakan salah satunya saat menjelang waktu berbuka, banyak umat muslim yang terjebak pada urusan ‘balasan dendam’, mereka membeli apapun yang dianggap enak dan memuasakan lidah tanpa memikirkan ini nantinya dapat termakan semuanya apa tidak. Ini masih taraf individu belum ukuran berbuka bersama.

Syukur bisa terlahap semuannya, namun jika tersisa lalu terbuang sungguh kejamnya kita. Di belahan bumi lain orang-orang berbondon-bondong menyiapkan menu makananan untuk berbuka, lainnya harus menanggung kelaparan serta kemiskinan. Betapa sisa makanan yang seringkali kita anggap remeh membawa dampak lingkungan dan sosial yang begitu mengerikan. Tidak hanya konsumtif namun juga destruktif. Meminjam pernyataan salah satu Imam besar di Autralia bahwasanya makna puasa terlah bergeser dari fasting (bulan berpuasa) menjadi feasting (bulan berpesta).

            Menyadur pendapat M. Faizi dalam buku ‘Merusak Bumi dari Meja Makan’, ia menenkankan bahaya sampah makanan yang sering kita anggap sepele. Saking pentingnya ia membahas sampah makanan dalam bab tersendiri dan memasukannya ke dalam tiga perbuatan atau sikap (berpotensi) merusak yang biasa dilakukan manusia dari meja makan yaitu sampah plastik, tisu dan sisa makanan. Menurut penulis, kesalahan pertama karena kita hanya meng-“hanya” kan sisa-sisa makanan itu, sisa nasi, sisa ikan, sisa sayur dan lain-lain. Secara hiperbolis, apabila sisa makanan itu dijadikan dan digabungkan sebagai negara akan menghasilkan emisi gas rumah kaca setara Amerika dan Tiongkok. Juga akan menghabiskan air di sungai Volga, sungai terbesar di Eropa.  

Sedangkan kesalahan berikutnya, kita tak pernah memikirkan bagaimana sebuah makanan dapat terhidang di depan kita. Pernah tidak kita merasa bersalah membuang nasi yang tak habis dimakan karena ia melewati proses rumit dari tanam hingga panen. Melewati terik dan hujan serta menempuh jarak puluhan kilometer untuk sampai ke pasar. Dalam Islam pun dijelaskan untuk tidak menyia-nyiakan makanan yang tercantum dalam surat QS. Al-Isro’: 26-27 berbunyi “dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Manusia telah melampui batas keinginanya. Ia hanya ingin memenuhi ego serta syahwatnya.

Saya jadi teringat ungakapan M. Faizi tentang lingkungan, “Banyak cara untuk merusak bumi dan mengabaikan rezeki, yang sedikit adalah orang yang menyadari demikian”. Jangan pernah remehkan sisa makanan barang sedikit apapun, bisa jadi itulah dosa lingkungan yang sering kita lakukan. Pada akhirnya, puasa tidak akan berhenti di ritus ibadah untuk  (keegoisan) diri sendiri namun berkebaikan juga untuk sesama, untuk lingkungan.

 *Tulisan sudah pernah dimuat di Mubaadalahnews.com https://mubaadalahnews.com/kolom/detail_publik/2020-05-11/865

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Emak: Catatan Rindu

Takut

Sekat